Maaf

Mulutmu, Harimaumu.
Kurang sadis.
Mulutmu, Matimu.
Pagi ini, aku berharap seuntaian kata tulus dapat terurai mulus untuknya. Namun apa daya, jurang interpretasi dan juga humor yang membatasi di antara kita, pada akhirnya membuahkan konflik yang menyebabkan luka dan lara. Niatku, berterima kasih. Yang ia tangkap, hujaman “doa” yang tidak pada tempatnya. Niatku, becanda. Yang ia tangkap, ketidaklucuan yang berujung sakit hati. Ia berlara.
Ironisnya, ia begitu ekspresif ketika sedang nyeri hate. Khususnya jika nyeri hate itu diakibatkan oleh kelakukan kasarku. Jika orang lain yang melakukannya, tak pernah ia mau berbagi sakitnya itu. Dan ironisnya lagi, aku merasa bersalah sekaligus senang. Bersalah karena membuatnya sakit hati dan senang mendapatkan atensi yang selama ini ia tidak pernah berikan.
Jujur, aku pun pernah merasakan sakit hati olehnya namun dalam sekejap dua kejap, sakit hati itu sembuh oleh senyumnya, banyolannya, dan juga dirinya yang apa adanya. Tapi tidak berlaku baginya. Satu kesalahan absolut dariku tidak akan pernah sembuh oleh ku.
Maaf yang infinitif dan definit begitu besar terlontar dari jemariku. Aku meminta maaf, karena merasa semakin mengertimu namun masih tersandung oleh kesalahan yang sama. Aku merasa menjadi snob sejati, maaf. (tertunduk malu, kepala menyentuh lutut).
PS : adakah doa seperti “Jika kamu mencuri, aku doain kamu ga naek kelas ya.” terkabul dalam suasana becanda ? jika ya, semoga malaikat mengamini revisi doaku yang lebih bermanfaat. dan Allah mengabulkannya.

Comments