Kepada Tanya

Apa kabar?
Ku harap engkau sebahagia bintang yang bersinar terang di sana.
Aku pun di sini baik seperti yang kau bayangkan, sebongkah kayu yang bengkok namun tidak patah. Tenang, aku ini Jati, bukan bambu.
Sudah lama aku tidak bertemu denganmu, banyak sekali yang terjadi sejak kita terakhir bertemu. Aku tak tahu harus memulai dari mana, apa atau siapa
Cinta ? Aku selalu tertawa ketika kau menyinggung yang satu itu. Aku tak pernah hebat dalam yang satu itu. Ia redup dan aku tetap hidup bersamanya. Aku menikmati setiap degupnya. Seperti saat kita menikmati riuh yang kian menggelup.
Telaga air mata itu masih saja terisi penuh dan kadang bercampur peluh, membuatku ingin bermimpi saja agar bisa kurengkuh. Kubilang padanya kau selalu menungguku di saat aku pilu. Dia hanya mengangguk, percaya seperti biasa. Tapi di dalam hatinya, aku tahu betul bahwa tonggak semangatnya terus tergerus keraguan. Tapi ia tetap menyimpannya dalam-dalam.
Kau tahu, aku pernah menyelam ke dalam bola matanya yang cokelat menawan. Awalnya aku merasa berada di himpitan realita dan cinta. Kudapatkan perasaan mencinta yang rela didera derita. Tapi kemudian ketika aku menyelam ke perasaannya yang lebih dalam, dadaku terhimpit perasaan itu. Aortaku meledak dahsyat. Mendadak di dunianya, ada definisi tenggelam yang ia ciptakan. Aku terkejut bagai dicium belut listrik. Ingin tertawa. 

Ia membuat pembatas di dunia khayalnya untukku. Satu-satunya untuk bertahan adalah mencapai permukaan dan menghirup udara. Tapi jika aku mencapai permukaan, itu berarti aku menyerah.

Aku sangat benci pilihan. Selalu saja ada ambivalensi yang meruntuti aku, membuat gelegak yang menggerogoti keceriaan yang sudah aku tabung. Konsekuensi logis yang harus aku ambil karena mengetahui dua hal yang ku anggap penting. Hidupku atau hidupnya.

Di dunianya, aku bisa bernapas lega saat mencapai permukaan namun aku tidak bisa menggenggam sebongkah rasa yang kudapatkan ketika sedang menyelam. Dan kau tahu aku, aku tak pernah tanggung-tanggung. Aku selalu saja ingin menyelam lebih dalam, mencoba menerangi sudut-sudut gelap yang siapa tahu aku bisa menemukan sesosok pikiran yang tersesat. Namun pembatas itu akan selalu hadir dan membuatku sesak. Aku lagi-lagi akan kembali ke permukaan dengan perasaan terengah-engah. 

Aku tidak tahu analogi apa yang bisa kuuraikan lagi. Ia bukanlah pelengkapku. Ia adalah aku. Bagaimana aku bisa tenggelam dalam duniaku sendiri. Ah kau membuatku berpikir seperti ini, kau sengaja membuatku berpikir bahwa ia bukanlah aku.

Kau tahu, saat-saat seperti ini adalah di mana kau melempar buku Voltaire dan tersenyum. Atau mencoba menjahiliku dengan kata-kata Schopenhaur. Tapi kini ketika ku buka dunia Voltaire, Nietzsche, atau bahkan Freud, aku hanya menemukan kata dan kepingan memori. 

Tolong katakan padanya, aku merindunya seperti rerumputan menunggu hujan di pagi hari. 

Tidak ?

Aku pernah terbelenggu cinta yang kopong. Lara yang kutanggung saat itu ingin sekali aku bagi. Mencari belahan diri yang selalu pergi. Kau, sahabatku, pun tak sudi. Aku mengerti. Ketika mataku dibutakan sesuatu, aku selalu mencari penerang. Senter, sakelar lampu, atau lilin. Kau mengajariku untuk bertahan dalam gelap. Waktu akan terbuang percuma jika kita mencari terang, semudah itu kau menyelipkan ajaranmu. Lantas kau mengubahku menjadi terang benderang. Meski kau selalu bilang kau hanya membantuku, aku tahu kau mengubahku menjadi terang.

Aku terbiasa dengan gelap. Tapi gelap dalam dunianya lebih pekat. Aku mencoba dan berlatih untuk terus pergi ke sana namun pembatas itu tetap ada. Aku tetap tersedak sepi yang mencekam itu. Dan aku tidak tahu kapan aku bisa seenak hati menyelam di dunianya. Cepat atau lambat, satu di antara kami akan menyerah. 

Kau harus hadir saat itu tiba.
Aku kuat, jangan khawatir. 
Setiap hari aku menelan mimpi. Vitamin yang kau sarankan agar bisa bertahan.

Himpitan ingar bingar modernisme benar-benar membuatku lingar. Iya, kau selalu menyarankanku menjauhinya.
Ku tahu kau tak punya banyak waktu tapi bodohnya aku malah kutulis cerita cinta yang dangkal tapi apa daya, kita sudah terbiasa. Aku akan menjawab pertanyaanmu dengan jawaban sumir:

1. Ia baik-baik saja, doakan aku bertemu dengannya 1 putaran bulan.
2.Janji sudah terikat di pelataran cinta yang gemilang namun sedih, asa yang mereka tanam terhempas menjadi buih.

3. Aku benar-benar bahagia. Dengannya aku lebih bahagia lagi. 

Aku titip salam untuk Tuhan. Aku tahu Dia tahu. Aku hanya ingin semua bahagia. Tanpa terkecuali.
4. Oh ya, duo itu telah berlalu. Mereka menjadi sarapan biru yang tak henti-hetinya berjejeran seperti labu.
5. Spongebob di TV sekarang sudah ada episode baru, ku harap kita bisa menontonnya lagi. Kau tahu, ia juga penggemar spongebob.

Aku senang kau mampir di sini. Berbincang sejenak denganku. Aku harap kita bertemu lagi, entah kapan tapi aku tahu itu pasti.
Untuk yang terakhir kalinya, katakan padanya, aku benar-benar menyayanginya. Melebihi sayang Heloise kepada Abelard.
Peluk hangat.

Comments