Empat Setengah Tahun (2)

Motivasi

Baik sebelum maupun setelah diterima di Unpad, saya tetap dengan tegas berpendapat bahwa kuliah itu mewah. Bagi saya kuliah itu benar-benar sesuatu yang wah. Pada tahun 2007, saya masuk Unpad dengan mengeluarkan uang dengan rincian sebagai berikut:
1. Biaya Pembangunan Rp. 3.750.000,00

2. Biaya Semester 1 Rp. 1.200.000,00
3. Biaya ospek dkk Rp. 1.000.000,00

Total yang dikeluarkan sudah bisa dipastikan sebesar Rp.5.750.000,00 saat pertama kali masuk. Orang tua dan nenek saya mengeluarkan kocek sebesar itu demi anaknya yang sering memberontak dan tak tahu diri seperti saya. Perasaan malu
lantas melumerkan ego saya. Terharu juga sih sebenarnya. Bagi sebagian orang uang segitu benar-benar murah karena jika dibandingkan PTN apalagi PTS lainnya, jumlah segitu mungkin hanya seperempatnya saja. Tapi untuk saya personal, uang tersebut sangatlah besar. Muncul pemikiran bahwa untuk semester selanjutnya saya tidak boleh menggunakan uang orang tua untuk kuliah.

Dengan biaya segitu, perjalanan Jatinangor-Bandung yang biasa saya tempuh menggunakan Bis Damri dengan waktu tempuh kurang lebih dua jam menjadi tidak terasa. Jujur, saya seperti memikul beban yang sangat berat saat pergi kuliah, lantas beban itu bisa sedikit berkurang dengan hadir di kelas tepat waktu, duduk paling depan, dan mem

erhatikan dosen yang sedang menguliahi.

Seperti mahasiswa biasa lainnya, rasa kantuk sering berayun di kelopak mata apalagi saat kuliah pagi. Tapi saya sendiri punya trik supaya kantuk itu hilang beberapa di antaranya adalah makan potongan cabe rawit, makan permen (ini sih andalan setiap mahasiswa), atau cabut bulu kaki. Tapi yang paling efektif buat saya, alangkah terkutuknya saya jika saya menyia-nyiakan pengorbanan orang tua saya. itu yang saya refleksikan di otak saya kalau kuliah mulai bikin ngantuk. Masa jauh-jauh dari Bandung, nyampe kampus ngantu
k ? belum lagi nanti si mamah ama si papah marah-marah kalau ipk jelek, pikir saya.

Poin terakhir memang bikin saya jadi lebih sosialis. Tiap kali saya ngantuk di kelas, otak saya langsung memutar tayangan ulang pengamen dan pengemis yang tiap pagi berkoar di Damri. Dan spontan nurani saya berkomentar lu bakal jadi orang terkutuk banget dip kalau nyia-nyiain kesempatan duduk di ruangan berAC, tinggal dengerin doang, nyatet, nanya kalau ga ngerti. Dari kejadian-kejadian sepele seperti itu saya benar-benar mendapat spirit untuk terus belajar.




damri, apa jadinya kuliah tanpa si dia ? :)

Empat tahun setengah saya berpegang teguh pada niat dan prinsip itu. Saya harus berterima kasih kepada para pengamen yang selalu membangunkan saya kala pagi hari mau ujian saya terkantuk membaca materi di bis. Atau saking panas dan penuhnya, saya jadi ga bisa tidur di Damri. Berdesak-desakan bagai gerombolan pergi demo.


Coba kita pikir lagi, seberapa beruntung kita bisa melakukan sesuatu yang orang lain belum bisa lakukan ?

Saya capek aja kalau mikirin kenapa harus begini kenapa harus begitu. Jalani aja. Sekali dua kali ngeluh juga oge, jangan keseringan. Nanti yang capek malah kita sendiri.

Selain itu saya senang jika orang berekspektasi tinggi terhadap saya. Itu artinya saya dipercaya dan juga diapresiasi. Entah hasilnya seperti apa, tapi usahanya harus setinggi ekspektasi orang-orang. Dalam kehidupan saya, ekspektasi orang tua yang menjadi pecut buat saya agar terus maju.

Jadi, pecut kamu apa ?

Comments