Damai dalam Badai

Menjadi Damai dalam Badai

Beberapa sore lalu saya membongkar kardus-kardus yang ada di lantai atas. Kardus itu ternyata berisi buku-buku. Mulai dari buku kuliah kakak yang sudah lapuk sampai majalah Kartini dan Femini edisi tahun 90an. Isinya juga beragam: buku teori sastra, kebudayaan, dan juga novel-novel. Nah bagian yang terakhir ini yang saya antusias. Waktu lagi cari novel-novel jadul, ada buku pengarang terkenal Motinggo Busye! Bukunya berjudul Damai Dalam Badai.

Sontak novel ini jadi distraksi hebat, saya enggan membereskan isi kardus yang tergeletak di lantai. Saya mulai membaca novel ini sambil tiduran. 

Damai dalam Badai :)
Tebal novel ini 314 halaman di cetak di Jakarta oleh Gultom Agency tahun 1988. Wow, pantes ya semua halamannya sudah menguning juga rapuh.

Dua jam saya larut dalam plot novel ini. Ceritanya mengenai dua mahasiswa yang berbeda perangai yaitu Firman yang religius dan Leo, sepupu Firman, yang  benar-benar free, terkenal playboy dan tidak bertanggung jawab.. Kemudian Firman jatuh cinta kepada Tanty, mahasiswa yang berasal dari keluarga yang menjunjung nilai islami. Tanty dididik untuk tidak berpacaran jadi siapa yang ingin menikahi Tanty, ia harus menjalani proses taaruf dengannya dan keluarganya tidak terkecuali Firman. Di sinilah perbedaan karakter yang sangat kontras dan jelas digambarkan Motinggo ke dalam karakter  Firman dan Leo. Firman berusaha menikahi Tanty dengan niat dan juga komitmen yang serius sedangkan Leo akhirnya harus menikah dengan Susanti. Susanti menjebak Leo dengan berpura-pura hamil di luar nikah namun ternyata Susani belum hamil sebelum ia menikah. Nasi sudah menjadi bubur Leo terpaksa menikahi Susanti. Namun begitu, Leo masih belum bisa menyadari tanggung jawabnya sebagai seorang suami, ayah, dan juga kepala keluarga.

Beberapa tahun berlalu, Firman dan Leopun akhirnya sudah memiliki anak. Romansa dan problematika pun bergulir kepada Ani, anak Firman, dan Niko, anak Leo, yang mewarisi nilai-nilai kokoh yang diajarkan di dalam keluarganya. Niko dan Anipun saling jatuh cinta namun lagi-lagi status sosial dan juga perbedaan sikap menjadi batasan curahan cinta mereka. Motinggo menggambarkan secara prinsipil mengenai proses penyatuan karakter Niko dan Ani dalam kerangka jatuh cinta.

Cerita yang dilukiskan oleh Motinggo menggambarkan penterasi kebudayaan Barat pada saat itu. Ketika nilai-nilai universal dan global mulai memasuki Indonesia atas nama modernisasi, nilai yang dianut oleh Firman dan Tanty beserta keluarganya dianggap sudah kuno dan usang. Susanti dan Leo yang memang hidup berkecukupan dan mewah dibandingkan kehidupan sederhana Firman dan Tanti tidak menjadikan Susanti dan Leo keluarga yang utuh dan bahagia. Membaca novel ini saya dibawa ke dalam kehidupan selanjutnya dari keluarga Firman dan Leo: Ani dan Niko. Saya diajak tumbuh bersama Niko dan juga Ani hingga mereka bersama dan juga berpisah. Twist di akhir novelpun lumayan mencubit. Penokohan yang kuat menjadi salah satu kelebihan Motinggo dalam menulis novel. Selain itu, Motinggo juga piawai dalam mengajak kita menelusuri masalah keluarga Firman dan Leo dengan sabar.

Betapa agama (Islam) sangat penting dijadikan sandaran hidup saat zaman kapanpun merupakan amanat yang ingin disampaikan Motinggo. Selain itu di dalam novel ini juga dijelaskan bagaimana seharusnya seorang pria memperlakukan wanita dalam kasus Ani dan Niko bagaimana keduanya memenuhi kewajiban mereka sebagai suami dan istri.

Saya senang dengan novel ini karena saat ini jarang sekali ada penulis yang menekankan pada bagaimana kita menghormati wanita dalam berhubungan, bagaimana kita memperlakukan mereka sesuai dengan nilai-nilai agama. 

Saya senang dengan ucapan Ani, 
"Orang tukang omong mungkin pembohong tapi orang pendiampun bisa juga pembohong."

Comments