Renungan Semalam


Saya, kita, dan mereka.



Kadang kita sulit menyadari apa yang terjadi dengan diri kita karena terlalu peka dengan lingkungan sekitar. Saya sendiri adalah seorang altruis yang terus memedulikan perasaan orang lain. Bagaimana saya tahu hal itu? Banyak sahabat yang menyadarkan tersebut dan hal itu diperkuat dengan banyak pengalaman yang menurut saya membuat saya lelah.

Membantu orang lain sudah menjadi salah satu sifat di alam bawah sadar saya sehingga tanpa saya sadari saya selalu gampang jatuh simpatik terhadap orang lain. Dan kenyataan pahitnya adalah simpati yang saya miliki seringkali diremehkan atau sengaja dijadikan tameng bagi kepentingan orang tersebut. Tentu saja hal ini bukan masalah besar bagi siapapun tapi bagi saya, masalah yang menyangkut dengan nurani saya ini cukup penting walau tidak besar.

Kemarin malam, saya merasa benar-benar lelah secara mental ataupun psikologis. Secara fisik, saya akan lebih senang jika tidak punya tenaga lagi menjelang tidur yang artinya saya berhasil memanfaatkan tenaga saya saat siang hari. Namun kemarin saya merasa seperti bom waktu yang berdenyut-denyut. Dalam seminggu ini saya sering menyingkirkan ego saya demi menyenangkan beberapa pihak. Saya rasa itu layak mengingat mereka adalah orang-orang yang berharga dalam hidup saya. Saya tidak keberatan dan tidak mengharapkan imbalan. Saya sungguh benar-benar tidak bisa melihat mereka kesulitan tanpa ada saya di dalamnya. Dengan begitu, setiap bantuan dan juga keluhan, selalu saya beri dan juga tampung. Meskipun demikian, ada gejolak emosi yang mulai meluap-luap saat saya tahu bahwa ternyata saya hanya dimanfaatkan belaka. Mereka dekat dengan saya bukan karena saya apa adanya. Namun karena sesuatu yang mereka kira bermanfaat bagi mereka, berharga bagi mereka tanpa mereka sadari perasaan saya yang sebenarnya. Saya tidak terlalu bodoh untuk paham hal itu namun ketika saya renungi perlahan mengapa mereka sampai berpikir, berkata, dan bertindak seperti itu adalah karena saya sendiri terlalu mencurahkan diri kepada mereka. Saya terlalu memandangi orang-orang sekitar, mencoba membuat mereka bahagia tanpa ada usaha untuk membuat diri saya sendiri bahagia.

Saya merasa diselimuti kabut yang terus-menerus menutupi logika saya dengan asumsi-asumsi a priori tentang kekeluargaan, persahabatan, dan percintaan. Dan untuk satu hari, saya muak dengan diri saya sendiri yang mencoba mementingkan perasaan orang lain secara berkala dengan mengorbankan perasaan saya sendiri. Dan semalam, saya berjalan jauh sekali untuk memikirkan hal ini. That's my habit, walking down to get fresh air, feel the silent aisle and see the moon blend with the night. Hal itu benar-benar membuat saya tenang dan stabil kembali. Untuk masalah yang satu itu, tidak ada seorangpun yang sanggup membantu kita sebanyak diri kita sendiri. Saya mengenal diri saya tanpa harus adanya pretensi ekspektasi orang-orang di dalamnya. Sama seperti bagaimana seorang orang tua harus bertindak, seorang sahabat harus ada, atau seorang kekasih harus mencinta. Kata 'harus' menjadi ekspektasi peran yang dimainkan oleh orang-orang di sekitar kita. 

Contohnya adalah ketika kitga sering melontarkan kalimat semacam Dia kan sahabat gw, harusnya dia nolong gw. Kalimat seperti itu tidak akan terlontar jika kita sungguh-sungguh memahami bahwa sifat sahabat bukanlah sesuatu yang harus ditempelkan pada seseorang melalui standar yang ada di dalam diri kita. Jika dia memang sahabat yang baik, dia akan bertindak seperti itu karena dia memang seperti itu. Bukan karena dorongan, desakan, atau tuntutan kita tentang arti sahabat itu seperti apa. Jika definisi alamiah mengenai sahabat yang ada di orang itu sejalan dengan apa yang ada di dalam kita, maka harmonisasi akan tercipta tanpa ia perlu tahu bahwa ia sedang berperan sebagai sahabat.

Kemudian saya sadar bahwa memang ada kalanya, peran itu tidak perlu dipaksakan. Sama halnya seperti saya ingin membuat orang-orang di sekeliling saya bahagia dengan mengorbankan perasaan saya. Saat saya lelah dan jengah., merasa jenuh dan ingin mengeluh, saya tahu saya harus berhenti dan beristirahat. Melihat sejenak ke dalam diri dan merasakan apa yang sebenarnya ia sampaikan.

Comments

  1. oui je sais bien qu'on dois etre gentil mais on dois aussi voir la condition de nous-meme. quelques fois, dans certaine condition, on dois aussi penser de nous meme. pour qu'on puisse eviter la mouvaise situation

    - syah abdaly -

    ReplyDelete

Post a Comment