Inggit dan Happy Salma: Sama-sama 'Menggigit'

Mengenal Inggit Ganarsih melalui Monolog Inggit



"Kalau Kusno berani mengatakan 'tidak' pada kolonialisme, mengapa aku mesti tidak berani mengucapkan kata yang sama padanya ketika dia ingin menjadikan perempuan sebagai koloni lelaki? Seperti tanah air yang dibelanya, aku bukanlah koloni."


Siapa tak kenal Soekarno? Seorang pria yang paling berwibawa di Indonesia. Seorang bapak Proklamator. Seorang Pejuang Kemerdekaan. 

Siapa yang mengenal Inggit? Seorang wanita yang tersia-siakan. Seorang wanita yang ikhlas menerima jalan takdirnya. Seorang wanita yang pernah menjadi tulang punggung hidup Seokarno, dilupakan dunia dan menepi dari sejarah..


Tiga minggu lalu tepatnya 1 Juni 2012 lalu saya menonton monolog Inggit yang dilakoni oleh Happy Salma di Selasar Sunaryo Bandung. Sebelumnya saya hanya mengenal Inggit Ganarsih melalui cerita sejarah Soekarno. Ia adalah istri Soekarno. Kebanyakan dari kita pasti pada awalnya mengenal Inggit sebatas itu karena buku-buku sejarah umum tidak banyak mengungkapkan eksistensi Inggit.Suatu pengalaman dan penghormatan besar bagi saya diundang menonton monolog tersebut sehingga saya sendiri bisa mengapresiasi Inggit lebih tinggi lagi. Sebelum mereview monolognya, saya ingin bercerita sekelumit tentang Inggit.

Inggit Ganarsih adalah mojang kabupaten Bandung yang lahir di Desa Kamasan Banjaran pada 17 Februari 1888. Ia dibesarkan di Bandung karena saat kecil ia dan keluarganya pindah ke Bandung. Inggit tumbuh menjadi gadis berparas cantik. Banyak lelaki yang terpesona oleh kecantikannya dan membuat mereka menyayanginya. Mereka seringkali menunjukan perasaannya dengan memberikan berbagai hadiah dan uang sehingga Inggit mendapat julukan 'Saringgit' atau seringgit yang sehomonim dengan namanya, Inggit. Sebelum menikahi Soekarno, Inggit pernah dua kali menikah yaitu pertama dengan Kopral Residen Nataatmadja dan kedua dengan H. Sanusi. Setelah menikahi Soekarno, Inggit menjadi istri yang mengabdi kepada suaminya. Namun begitu, pengabdian itu belumlah cukup bagi Soekarno. Pada 1982 Inggit dan Soekarno bercerai. Inggit memilih perceraian daripada dimadu karena Soekarno ingin sekali memiliki keturunan sedangkan Inggit tidak bisa memberikannya. Kemudian pada 13 April 1984, Inggit meninggal di Bandung dan dimakamkan di pemakaman umum Babakan Ciparay.

Ada monolog Inggit yang berdurasi lebih dari dua jam ini, Happy Salma melakoni Inggit dengan stamina yang luar biasa. Ia tidak beristirahat ataupun melihat teks. Penghayatannya terhadap karakter Inggit bisa saya rasakan dari intonasi, gesture, mimik, atau interpretasi kalimat-kalimat monolognya sendiri. Naskahnya ditulis oleh Ahda Imran yang diinterpretasikan dari Kuantar Kau ke Gerbang karya Ramadhan K. H.  Monolog ini disutradarai oleh sutradara terkenal Wawan Sofwan. Dalam dua jam lebih itu, Happy Salma menarik saya dan penonton ke dalam kesenyapan seorang pejuang wanita di ranah domestik. Ditambah dengan backsound yang sederhana namun tetap pas dengan emosi yang dikeluarkan oleh Happy Salma. Ada suara kecapi dan Sinden yang sesekali bernyanyi. Setting yang dibuat secara minimalis namun didukung dengan pencahayaan yang tepat mengoptimalkan penampilan Happy Salma dan tetap menjadi pusat perhatian sampai acara selesai. Sayang saat itu ada beberapa penonton yang telat datang sehingga mengganggu penampilan Happy Salma. Selain itu, mereka yang telat juga beberapa kali menimbulkan kebisingan, handphone mereka beberapa kali bunyi dan satu di antara mereka menerima telepon di tengah-tengah acara. Hal itu sangat menganggu kekhidmatan acara. Dan lebih disayangkan lagi, saat panitia berkata kepada saya bahwa mereka adalah keluarga (keturunan anak angkat) dari Inggit Ganarsih. Secara kesuluruhan monolog ini saya nilai sembilan dari sepuluh.

Dari segi konten, saya benar-benar takjub. Inggit Ganarsih yang sebelumnya saya kenal hanyalah seorang istri biasa namun dalam monolog ini terungkapkan bahwa ia adalah wanita luar biasa. Saat Soekarno dipenjara di Suka Miskin, Inggit rela berjalan kaki menempuh lima kilometer untuk menegok Soekarno. Soekarno, yang kerap disebut Engkus oleh Inggit, pun meminta Inggit untuk memberi uang kepada penjaga di penjara. Selain itu, Soekarno pun kerap meminta Inggit untuk menyelundupkan buku-buku bacaan ke dalam selnya. Untuk melakukan hal itu, Inggit harus puasa dahulu beberapa hari sebelumnya sehingga perutnya cukup kecil untuk menyelipkan satu atau dua buah buku di dalam sampingnya. Saya juga baru tahu bahwa selama menikah dengan Soekarno, Inggitlah yang banyak mengeluarkan uang untuk biaya hidup mereka berdua terlebih untuk keperluan Soekarno. Inggit tidak protes saat Soekarno berpidato dari satu mimbar ke mimbar lainnya. Soekarno hampir menyerah dengan meminta maaf pada pemerintah kolonial jika tidak dilarang dan dikuatkan oleh Inggit dengan berkata tidak. Saat Soekarno yang dipanggil Inggit dengan panggilan sayang 'Engkus' diasingkan ke Ende Flores, Inggit tetap setia menemani. Ia menjual rumah dan harta bendanya. Di Ende, Soekarno pun bosan dengan kegiatan yang hanya bercocok tanam saja. Ia kemudian meminjam uang kepada Inggit untuk mengadakan pagelaran teater dengan pemain dari penduduk lokal. Setelah pagelaran teater itu usai, Inggit menyadari bahwa Soekarno lagi-lagi bosan. Bahkan Soekarno sempat jatuh sakit. Inggit tahu bahwa gairah Soekarno berada di dalam ranah politik. Ia mengetahui bahwa Soekarno adalah macan mimbar yang pidatonya selalu dielu-elukan oleh rakyat. Oleh karena itu Inggit berusaha mendorong Soekarno agar tetap membaca buku-buku politik atau agama. Iapun tetap memberikan harapan kepada Soekarno bahwa mereka pasti akan pulang ke pulau Jawa. 

Inggit tidak pernah bisa menjadi seorang ibu. Soekarno dan Inggit mengadopsi dua orang anak bernama Ratna Djuami dan Kartika. Namun begitu, Soekarno tidak puas. Ia menginginkan keturunan darah dagingnya dari seorang gadis bernama Fathima. Saat Soekarno meminta Inggit untuk dimadu, Inggit dengan tegas menjawab tidak. Dari situlah hubungan keduanya mulai dingin sampai akhirnya mereka memutuskan untuk bercerai. Saat pulang ke pulau Jawa, Soekarno dikisahkan kembali membakar semangat rakyat melalui pidatonya sedangkan Inggit menjadi ketua paguyuban istri. Setelah perceraiannya, Inggit tinggal bersama kedua anak angkatnya dan kembali meracik dan menjual jamu dan bedak. Ia tidak pernah menyimpan dendam kesumat ataupun sakit hati kepada Soekarno. Ia berlapang dada dan menerima jalan takdirnya. 

Sesuai dengan peribahasa, behind every great man there is a great woman.

Dari sudut pandang feminisme, Inggit  memiliki kesadaran akan hak-haknya sebagai perempuan. Ia memiliki kekuatan dalam ranah domestik dan juga publik. Dalam ranah domestik ia tidak berperan sebagai ibu namun juga tulang punggung keluarga sebagaimana diakui oleh Soekarno. Dalam ranah publik, ia berperan sebagai motivator Soekarno yang tangguh dan tegar. Kedua ini merupakan kualitas-kualitas yang seharusnya dimiliki oleh seorang maskulin. Inggit mungkin tidak mengenal apa itu feminisme namun dengan mengatakan tidak terhadap permintaan Soekarno untuk dimadu, Inggit telah berhasil meloloskan diri dari jerat sistem patriarkal. Inggit menolak untuk dijadikan perempuan yang dianggap memiliki kualitas seperti mudah diatur, manut, dan juga lemah. Meskipun ia harus berpisah dari Soekarno, ia masih bisa berdiri sendiri. Tidak terkungkung oleh kalimat-kalimat manis yang terlontar dari mulut Soekarno. Perjuangan seperti ini yang menurut saya harus diteladani oleh  perempuan sekarang. Ketergantungan mereka terhadap lelaki (suaminya) menjadikan mereka semakin rapuh. Dengan adanya sistem patriarki, semakin perempuan bergantung pada lelaki maka semakin mudah lelaki untuk mengontrol mereka. 


 Beberapa cuplikan adegannya:

Happy Salma menjiwai Inggit




"Engkus..."

Inggit yang patah hati karena dimadu Soekarno


"Tidak, ceraikan aku dulu jika kau mau menikahi Fathima"

berhasil foto bareng :D



Sebenarnya asumsi saya adalah bahwa kesedihan Inggit yang terbesar tidak bisa memberikan Soekarno keturunan telah digantikan dengan usahanya untuk mendukung Soekarno dengan segala daya dan upaya yang Inggit bisa lakukan. Di Bandung, nama Inggit diabadikabn menjadi nama jalan (sebelumnya jalan Ciateul). Di Jalan Ciateul no. 8 berdiri sebuah rumah yang pernah ditempati Inggit Ganarsih dan Soekarno yang masih kuliah di Technische Hoogeschool (ITB). Kita diperboleh masuk dan berkunjung ke sana.


Tentunya generasi putri bangsa ini akan menjadi lebih tangguh jika mereka menginsafi nilai-nilai dalam perjuangan Inggit, daripada mereka mengelu-elukan artis-artis Korea. Inggit, ia benar-benar mundur dari gemerlap panggung sejarah sebagai wanita kuat yang menopang seorang Soekarno.


Comments