Solitude #19

Kincir Ria


Mari, aku ajak kau ke pasar malam. Banyak kerlap-kerlip lampu, warna-warni memusingkan. Banyak muda-mudi, tua muda, cekikikan menyebalkan. Banyak makanan dan minuman yang tumpah ke jalanan, menyedihkan. Banyak wahana ini itu, mencengangkan. Aku gandeng tanganmu erat dan tak peduli.

Mari, aku ajak kau ke pasar malam, tempat yang kau suka dengan sederhana. Ada wahana yang ingin kita coba.

Amsterdam, 22 Oktober 2013


Namanya Kincir Ria.

Ia adalah jentera yang disukai mereka yang tahu atas dan bawah. Tempat duduk untuk menonton gelap dan terang malam hari. Kau menyukai jentera yang terus-terusan berputar. Matamu selalu berbinar memandang Kincir Ria. Tak kuasa aku menahan hasrat terpendammu untuk menaiki Kincir Ria. Kau ingin menaikinya karena kau percaya, ia dapat meretas kenangan yang tidak kau inginkan. Aku tak sanggup jika bertemu lagi dengan kenangan. Biarlah ia menggelimangi aku. Aku sudah tidak lagi sekuat dahulu. Kini, aku kepayahan menyelisik angan dalam kenangan.

Tapi kau tidak memaksa dan aku tahu rasa. Kita mengantri dan akhirnya duduk di dalam bangku-bangku yang bertengger manis di jentera ini. Kita duduk dalam sebuah kursi besi yang sempit. Hanya aku dan kau. Tak kuasa menatapmu dari dekat, aku palingkan mukaku dan berceracap tentang ini itu. Kau diam. Tak mendengarkan sepertinya. Mengamati ketinggian yang membawa kita berdua menjauhi dunia yang selama ini kita jejak bersama. Kau membaur bersama Kincir Ria. Aku mulai gugup. Semakin tinggi, semakin sakit jatuhnya.

Lama kita terbuai. Tak ada rasa bosan yang berkembang menjadi gerutu. Bunga-bunga tidur mulai bermunculan di kejauhan dan kita tersenyum memandanginya. Lampu-lampu berkelap-kelip, Kincir Ria berputar. Semakin malam, semakin ramai. Banyak yang lalu lalang. Banyak tertawa dan bercekikian. Aku mulai tidak suka.

Gejolak emosi luber menggenang bersama kenangan. Air mata menunggangi gravitasi menyalak riuh rendah. Nestapa menggeret sukma dan tak ada lagi mimpi yang berbunga. Kata-kata menjelma prahara yang membakar kegelisahan dan langit sudah tak lagi indah. Mata yang berbinar karena harapan mulai pudar dan menjadi nanar. Tak ada lagi kisah yang utuh dan mengharukan. Yang tersisa tinggal jejak air mata yang mengering di pelipis mata.
Teriakan demi teriakan terlontar bagai meriam yang meluluhlantakan keheningan yang sudah lama berkumpul menjadi detik yang tak bersuara. Kecewa yang mendekam dalam diam menjelma monster geram yang ingin mengunyah semuanya perlahan. Luka dan luka yang terkubur meronta dan meraung di tengah geliat kembang api dan pesta pora. Ada yang mendadak mati. Ada yang mendadak hidup. Aorta ingin meledak dahsyat di dalam kepingan perjalanan.
Tak ada lagi yang mengerti dan mencoba mencari arti.
Tak ada lagi yang mencari.
Tak ada lagi yang memahami.
Derai air mata dan tawa bercampur.
Tak tahu mana suka dan duka.

Angin bergumul dengan dingin
Desahannya merembes ke dalam pori-pori.
Katanya, "Cukup."

Matahari sudah mengintip di kejauhan.
Kincir Ria berhenti.
Kita melompat dengan riang.
Lantas pulang.


Sudah berapa lama kita menjadi jentera?
Aku tak peduli.





--Amsterdam, 23 Oktober 2013--

Comments