Simpul




Teman-teman Aam sering mengoloknya dengan sebutan Si Cinbut, cinta buta. Ia tidak tahu seluk beluk di balik panggilan itu. Juga arti Cinbut atau cinta buta. Ia juga tidak mengerti mengapa teman-temannya suka meledeknya seperti itu. Yang ia mengerti, setiap kali ia jatuh cinta dunia menjadi tempat yang tidak dapat ia mengerti. Alasan-alasan logis luntur dikecup daya magis seseorang yang memikatnya. Tak ada langit yang menaunginya dan tak ada bumi yang dijejaknya. Semua terasa menjadi dekat. Detik bertransformasi menjadi jarak. Apalagi jika detik-detik mulai mengkristal bersama rindu yang sudah menguncup di hatinya, ia selalu berharap pertemuan menjadi penantian manis yang sudah tak sabar bisa ia petik.




Walaupun sering tidak peduli, akhir-akhir ini omongan teman-temannya mulai menganggu pikiran Aam. Tiap kali jam istirahat, pulang sekolah, selagi ada kesempatan, teman-temannya sering merenteti Aam dengan pertanyaan. Dan pertanyaan-pertanyaan seperti itu mulai hinggap di benaknya kala ia bertemu dengan teman-temannya. Berulang kali ia pikirkan, mengapa cinta itu buta, ia tetap saja tidak tahu. Setiap kali ia meminta penjelasan kepada teman-temannya, mereka hanya memberikan nasihat sambil becanda, “Udah, kalau lu mau selamet, tinggalin aja si Utin. Dia gak cocok buat lu.” Aam menjadi murka. Ia tidak terima dibilang seperti itu. Yang ia tahu, ia cinta Utin. Sesosok perempuan yang selalu membuatnya mabuk kepayang. Dan cinta tak pernah cocok menjadi lelucon apalagi guyonan.

 “Jangan asal ngomong lu pada. Gua sama Utin kan udah jadian satu tahun. Masa gua putus gara-gara lu ngomong gak jelas begini.”

“Tuh kan, lu dinasihatin suka nutup mata. Gak salah dong kalau kita pada nyebut lu si Cinbut.” Ucap salah satu temannya sambil tertawa.

“Tutup mata begimana, jelas-jelas mata gua melotot begini. Lu semua pada jeles aja gua pacaran sama si Utin kan. Jomblo sih.” Balas Aam.

“Kampret lu! Cinbut!”

Bel sekolah yang berbunyi nyaring menandai istirahat telah selesai. Aam dan teman-temannya segera memasuki kelas.

Aam hanya berpikir teman-temannya cemburu karena ia berpacaran dengan Utin. Utin adalah murid populer yang sering diidam-idamkan banyak murid pria sedangkan Aam hanyalah siswa biasa yang tidak terlalu mencolok di antara yang lainnya. Kalaupun ada yang berbeda dari murid lainnya, Aam sudah mandiri sejak kecil. Ia harus terbiasa ditinggal kedua orang tuanya dinas di berbagai tempat. Kadang mereka pulang satu tahun sekali dan jika beruntung, Aam bisa menemui mereka beberapa kali dalam setahun. Namun keberuntungan tidak pernah memihaknya, pertemuannya harus ia relakan dalam bentuk teks pesan, sur-el, video, foto, ataupun skype. 

Aam beranggapan Utin menyukainya karena kedewasaan dan kemandiriannya dibandingkan murid lainnya.

Tahun ini adalah tahun terakhir mereka di SMA, mereka tidak mau menghilangkan kesempatan untuk saling bersama. Meskipun banyak temannya yang memilih fokus untuk menentukan langkah mereka setelah lulus sekolah dan mengesampingkan urusan cinta monyet, Aam tidak mau membuang kesempatan saat Utin meminta Aam untuk menjadi kekasihnya tahun lalu. Ia bahagia ada seseorang yang memilihnya.

Kelas sudah berakhir dan teman-teman Aam sudah mulai pulang satu persatu. Pelajaran tambahan tadi membuat semua murid kelelahan dan ingin segera pulang. Beberapa orang masih di kelas untuk mengobrol atau meregangkan badannya. Termasuk Aam dan teman sebangkunya.

“Am, yang lu suka dari Utin apaan sih?” pertanyaan teman sebangkunya tiba-tiba mengejutkan Aam. Aam pura-pura tidak mendengar dan terus sibuk memasukan buku-bukunya ke dalam tas. Ia ingin bergegas menjemput Utin di ujung koridor kelas.

“Am, jawab dong. Abis ini gua gak akan tanya-tanya lagi dah.”

Aam pun diam sejenak lantas menjawab, “Suer?”

“Suer Am.” Jawab temannya dengan cepat

Aam berpikir keras,
“Hm...
Mm......Jujur yak, gua juga kagak tau kenapa gua bisa suka ama si Utin.”

“Masa sih? Masa lu kagak tau kenapa lu bisa suka ama si Utin.” Temannya penasaran.

“Serius dah.”

“Oke, gua coba bantu lu ya.
Si Utin kan gak pinter-pinter amat, prnya aja lu yang bikin. Jadi kayaknya bukan karena dia pinter, kan?”

Aam mengingat-ngingat. 
Utin seringkali datang ke rumah Aam untuk meminta diajari mengerjakan pekerjaan rumah dan materi sekolah yang ia tidak mengerti. Aam juga sebenarnya tidak mengerti. Tapi ia berusaha mengerti dan belajar lebih keras lagi agar bisa mengajari Utin. Awal-awal Utin datang, diskusi dan pembelajaran bersama sering terjadi namun lama kelamaan Utin berhenti minta diajari dan memohon agar Aam mengerjakan prnya saja. Tentu saja Aam melakukannya. Bukan karena Utin mengiming-imingi Aam untuk bisa kuliah bersama jika nilai Utin bagus namun  karena Aam melakukannya demi Utin.

“Hm…bisa jadi sih. Tapi mau dia bodo atau pinter, gua kayaknya bakal tetep sayang ama si Utin.”

Temannya mulai ikut berpikir keras, “Dia juga gak tajir amat. Kalo jalan juga lebih sering lu yang bayarin kan?”

Aam tidak pernah mengingat hal detil seperti itu.
Pergi ke mal, nonton di bioskop, makan di restoran, hang out di kafe, ataupun memutar kota dengan kendaraan Aam, Utin tidak pernah menyumbang sepeser pun. Tapi Aam tidak pernah keberatan dan meminta Utin untuk melakukannya. Ia berprinsip wanita harus diperlakukan spesial termasuk Utin. Jadi tidak salah jika selama ini semua aktivitas berpacaran menjadi tanggungan Aam.

“Mau dia tajir atau kagak, gua bakal tetep bayarin dia kok kalo jalan. Lah namanya juga cowok, ya kalau pacaran harus menafkahi dong.” 

Dahi temannya mulai mengernyit. 
“Lah lu, pacaran aja pake menafkahi segala.
Hm… 
apa karena Utin cantik? 

Atau jangan-jangan, gara-gara lu suka….itunya Utin yang gede ya?” Temannya bertanya dengan nakal seraya kedua tangannya meremas-remas dadanya sendiri. Ia kemudian tertawa.



Aam tidak melihat kecantikan seperti orang lain dan temannya lihat pada diri Utin. Fisik adalah bungkus semata. Bungkus yang bisa robek dan juga layu. Dan tentu saja, Aam tidak bisa memilih fisiknya sendiri. Begitu pula Utin. Persoalan fisik bukanlah sesuatu yang menarik bagi Aam.

Namun Aam ingat. Sekali waktu Aam dan Utin berlibur ke Bali saat liburan sekolah. Malam itu mereka berdua sangat senang jalan-jalan di pantai Kuta. Sekembalinya ke hotel mereka makan di balkon hotel sambil melihat pemandangan pantai. Aam melihat cahaya bulan membasuh mereka berdua di balkon. Di sana Aam melihat kecantikan syahdu yang memancar. Apa efek cahaya bulan atau Utin memang cantik seperti yang orang bilang, namun suasana romantis dan indah seperti ini sudah lebih dari cukup untuknya. 

Utin menggenggam tangan Aam dan mengajaknya ke dalam kamar karena kedinginan. 


Kemudian Utin mencium bibir Aam.

Aam mendadak kaku. Jantungnya berderu kencang. Mukanya memerah. Tapi Utin tetap mencium Aam tanpa membuat jeda sedetikpun. Utin menanggalkan blus yang ia kenakan kemudian membuka kancing baju Aam.

Aam tidak bergerak sama sekali. Ia bingung.

Entah ada  keberanian dari mana, mulut Aam terbuka, bukan untuk membalas ciuman Utin tapi untuk sekedar berbisik,

“Utin, aku belum siap. Kalau kamu juga belum siap jangan paksain kaya gini. Aku gak pernah nuntut kamu untuk ngelakuin ini.”

Utin tetap melucuti baju mereka berdua satu persatu hingga mereka berdua telanjang bulat. Utin kemudian menjawab, 
“Aku udah siap dari dulu kok sayang. Lagian ini aku yang nuntut. Jadi jangan ditolak ya.”

Terjadi perbedaan tekanan udara yang mengitari Utin dan Aam. Bagai panas dan dingin yang menciptakan angin, mereka bergerak ke arah yang berlawanan. Satu mencapai langit karena perasaannya memuai dan satu menapak di tanah karena perasaannya beku oleh gigil menggetarkan. Ombak pantai bergemuruh dan memecah keheningan yang hanya diisi napas Utin yang terengah-engah. Sementara pikiran Aam jauh menerawang mencari jawaban. Ia sibuk mencerna apa yang sedang dilakoninya saat itu.

Semenjak itu, tiap kali Utin meminta Aam untuk mencumbunya, Aam tidak pernah menolak. Tapi ia juga tidak pernah menikmati meski mereka melakukannya di mobil, hotel, rumah Utin, bahkan di toilet. Di saat lelaki seusia Aam asyik bergumul dengan situs dan video porno di warnet, ia keasyikan menghabiskan waktunya menjelajahi sudut-sudut asing di kota. Di saat anak seusia Aam mencoba bermasturbasi, ia mencoba untuk bisa begadang sampai pagi. Melakukan yang anak seusianya lakukan, ia hanya belum mau dan belum suka.


Kini apa yang Utin lakukan padanya adalah sesuatu yang baru. Ia seolah dipaksa menyukai hal yang ia tidak sukai. Namun apa yang ia harus lakukan jika hal ia tidak sukai berasal dari orang yang ia sukai. Ia memilih perasaannya terluka. Ia melakukannya karena ia cinta kepada Utin. Ia ingin membuat Utin bahagia. Cinta Aam pada Utin bagai simpul mati; tak ada ruang untuk diubah dan dilepas.


Aam lantas membalas pertanyaan temannya,
“Mulai ngaco lu ya. Kalo Gua belum pengen ngelakuin yang begituan….”

“Yah elu kurang begaul sih. Masa lu gak denger cerita-cerita dari mantannya si Utin.

Eh, apa gara-gara dia murid populer, jadi lu pacaran sama dia berasa bawa-bawa trofi kemenangan?”

“Kalo mau pamer trofi, gua kan bisa ambil trofi lomba-lomba gua di koridor sekolah. Sekalian gua gandeng terus kasih bulu mata sama lipstik.” Aam mulai berpikir pertanyaan temannya sudah melewati batas.

Tapi temannya tidak menangkap makna ekspresi muka Aam, ia malah terus bertanya, 
“Ya terus lu suka sama Utin gara-gara apa dong?”

Aam terdiam. 

Ia mencintai Utin dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Entah dia bodoh atau cantik, ia merasa bukan itu alasan ia mencintainya. Kekurangan dan kelebihannya menjadi saru saat ia bertemu Utin. Ia tidak tahu apakah kelebihannya adalah kekurangannya ataupun sebaliknya. Entah mengapa ia tidak pernah menemukan satu alasan mengapa ia mencintai Utin. 

Namun ia juga tidak menemukan alasan untuk tidak mencintai Utin. Ia mencintainya karena suatu alasan yang bukan alasan dirinya untuk mencintainya. Ia hanya jatuh cinta. Menurutnya, itulah alasan satu-satunya.

“Emang kalo cinta begitu butuh alasan ya?”

“Ya butuh dong. Kalo enggak, ngapain lu pacaran sama Utin?”

“Ah, elu ribet. Kaya ngerjain soal esai aja pake alasan segala. Udah ah, gua mau jemput ke kelas Utin dulu.” Aam mengambil tasnya kemudian pergi dengan terburu-buru.

“Yah, dasar Cinbut lu!” Teriak temannya.

Obrolan mereka berdua menguap seiring langkah Aam menuju Utin. Ia tidak mempermasalahkan apa yang orang lain pikirkan, ia melakukan apa yang menurutnya baik. Ada yang mesti ia jaga. Meski ia tahu, bukan perasaannya yang mesti ia jaga. Ia hanya tahu bahwa mencintainya adalah sesuatu yang benar walau entah ke mana cinta semacam ini akan membawanya.

Dari kejauhan terlihat Utin yang sedang menunggu di depan koridor kelas.
Aam mempercepat langkahnya seraya berkata,
 “Hai cantik.”

“Cuntak cantik cuntak cantik. Lama banget sih.” Utin menggerutu dengan nada kesal. 

“Cepet ganti baju gih, kita kan mau jalan.” 

Aam pun bergegas menuju toilet untuk mengganti seragamnya.  Setelah itu mereka lanjut menuju parkiran mobil.

Di dalam mobil, hanya lantunan musikal Don Cherry dan Herbie Hancock menemani mereka berdua. Sesekali Aam mengeluarkan gumaman-gumaman kecil meniru suara saksofon yang dimainkan Don Cherry.

Utin mematikan pemutar musik. Kesunyian tiba-tiba merayap dalam mobil dan menyalakan ketidaknyamanan di antara mereka berdua.

Aam mencoba meretas kesunyian yang membuatnya tidak nyaman.
“Oh ya yang, kamu mau ngomong apa sih kayaknya serius banget?”

“Nanti aja ngomongnya abis makan. Aku bete sekarang. Aku juga lagi pengen belanja.”

“Okay, princess.”

Di sebuah mal, Aam menemani Utin belanja hingga larut. 
Tak terasa, gerimis yang enggan turun tadi sore kini sudah menjadi hujan deras yang seperti jarum keperakan menusuk-nusuki tanah. Langit seolah luber airmata.


“Kita ngomong di kafe itu aja ya.” Ajak Utin.



Mereka duduk berhadap-hadapan. Utin tampak ragu untuk bicara.
“Jadi, mau ngomongin apa sih yang?”

“Gini yang, aku sama temen-temen kan mau ikutan touring. Dan karena kamu gak bisa nemenin aku, aku pengen minjem mobil kamu.”

Touring tiga kota yang ditempel di mading itu? Yang minggu depan?”

“Iya yang.”

“Tapi kamu tahu kan kalo minggu depan aku harus jemput mama sama papa. Udah dua tahun loh aku gak ketemu mereka.”

“Kalo aku gak ikut, nanti aku dimusuhin sama semua temen-temen geng seangkatan yang.”

“Kan masih ada aku.”

“Ya, kita berdualah yang bakal dimusuhin. Pokoknya aku pinjem ya yang. Cuma dua minggu doang kok.”

“Kalau mobilnya gak kepake sih aku kasih pinjem Tin. Kamu kan tahu minggu depan aku harus jemput mereka. Kamu juga tahu kan kalo aku satu-satunya yang mereka punya.”

“Ya sewa mobil aja kek Am, naik travel kek, naik bis kek, apa kek. Pokoknya aku pinjem.”

“Kamu kan udah tahu kalo minggu depan mobilnya bakal aku pake untuk jemput mama papa. Gimana kalo kamu aja yang nyewa mobil?”

“Ogah. Kalau pacar aku tukang rental mobil, baru deh aku pake mobil sewaan. Jadi mau ngasih gak?”

“Kamu kan udah tau jawabannya apa.”

“Kok kamu tega sih sama aku?”

“Bukan gitu Tin.”

“Gini deh yah, aku buat simple aja. Kamu pilih minjemin mobilnya ke aku atau pilih mobilnya kamu pake buat jemput orang tua kamu?”

“Kamu kan udah tau jawabannya apa.”

“Cukup tahu aja gua. Dan cukup sampe di sini aja hubungan kita. Jangan coba-coba lagi lu untuk deketin gua!!”

Utin mulai berairmata kemudian berlari menuju pintu keluar. Aam terdiam lama sambil menghela napas panjang. 



Utin menambrak beberapa orang yang lalu lalang namun tidak peduli. 



Di belakangnya, Aam berlari mengejar Utin.



Di luar langit masih gelap dan berairmata. Utin berhenti sejenak di pintu keluar. Ia ragu harus menerobos hujan atau tidak.

“Utin….!” Teriak Aam. Ia tidak peduli ada berapa pasang mata yang memelototinya.

Mendengar teriakan Aam, Utin spontan menoleh ke belakang kemudian memutuskan lari menerobos hujan. Melihat itu, Aam mempercepat langkahnya. Ia berhenti sebentar di meja resepsionis di sebelah pintu keluar,
“Mbak, bisa pinjem payung gak?”

Aam bergegas mengejar Utin sambil membawa payung. Kemudian ia merangkul Utin ke dalam rengkuhan payung yang terbuka menahan rintik air yang deras.

“Tin, denger dulu.”

“Gua gak mau denger. Gua muak sama lu. Lu udah gak bisa ngertiin gua lagi.”

Dengan satu tangan memegang payung, ia berusaha menahan laju Utin.
“Tin, coba kali ini kamu yang ngertiin aku.”

Utin tetap berjalan walau pelan menuju tempat taksi berjejer.

 “Tin…coba denger aku dulu. Kamu udah tau kan kondisi aku sama orang tua aku, terus tentang minggu depan juga kamu udah tau kan.

Tin… aku sayang kamu.”

Utin tidak menjawab sedikit pun. 


Seorang sopir taksi melihat mereka berdua. Ia tampak bingung namun di tengah hujan ia membukakan pintu taksinya. Sebelum Utin masuk ke dalam taksi, Aam berkata,

“Utin. Kamu tahu aku sayang kamu. Gak ada alasan buat aku untuk ninggalin kamu. Biar semua orang bilang kalo cinta aku buta, tapi aku tetep pernah sayang sama kamu, iya kamu. Kalo ini jadi alasan kamu ninggalin aku, aku gak akan berbuat apapun. Marah, kecewa, sedih, kesel.

Semua udah luntur sama hujan ini. Aku udah ngejar kamu sampai titik ini, titik di mana kamu yang bakal ninggalin aku. Suatu saat kamu tanya kenapa kamu ninggalin aku, kamu bakal selalu inget kalau jawabannya selalu ada di kamu.”

Utin berdiri di depan pintu taksi. 


Beberapa detik kemudian, pintu taksipun dientakan Utin. Aam harus melihat sebuah mobil membawa seseorang yang ia cintai pergi. Pernah. Ia berharap taksi itu memutar balik dan Utin kembali. Memeluknya di tengah hujan.

Sampai taksi itu hilang dari pandangan Aam. Ia tak kembali.


Tak ada gunanya lagi memayungi dirinya sendiri. Ia membiarkan dirinya dilahap hujan yang menyatu dengan airmata. Hatinya menjerit.


***********************************************************************************

Hujan seperti ini yang aku suka, luber sampai ke dalam pori-pori tanah.  Langit menangis total. Tapi mungkin hujan seperti ini akan bercampur dengan airmata kala banjir mulai merajalela. Hujan pangkal banjir. Tapi buat aku, sesuatu yang kita suka kadang terasa pahit bagi orang lain. Seperti espresso cangkir ketiga yang aku habis sesap ini.

Tiga espresso aku sesap tapi hujan juga belum punya tanda untuk mereda.

Aku juga belum mau pulang. Namun lirikan bartender barusan sepertinya isyarat bahwa aku harus segera bangkit dari sofa nyaman ini. Sebenarnya jika mereka mengizinkan orang menatap hujan sampai lama, kopi mereka akan laku keras. Karena dari sini orang-orang bisa melihat pemandangan bagus. Aku pasti jadi langganan tetap mereka.

Dari sini aku benar-benar bisa melihat tetesan hujan yang mengucuri ibukota. Belum lagi tetesan air yang meliuk di jendela kaca ini bagai magnet yang menarik jemariku untuk menyentuhnya. 

Dingin. 

Walau tidak basah, jemariku seperti menyentuhnya. Lucu, aku seperti melihat akuarium besar berisi diorama lengkap dengan mobil, orang, dan juga pepohonannya. Lucu lagi, aku seperti berada di akuarium besar yang terjebak bersama manusia-manusia yang ketawa ketiwi menggandeng kantong-kantong belanjaan.

Terjebak mal atau terjebak hujan. Kalau aku bisa memilih, aku lebih senang terjebak hujan.

Mungkin ada orang yang senang menontonku dari luar layaknya aku yang senang menonton orang-orang dari dalam sini. Tapi ku pikir tak ada yang mau capek-capek berdiri di tengah hujan menatap sebuah kafe kopi dari dekat.

Barusan bartender menatapku lagi. Karena aku adalah konsumen terakhir, dan sudah lewat jam last order, aku terpaksa harus beranjak pulang. Di saat yang bersamaan, telepon genggamku berbunyi lagi. 

Kini aku juga harus memikirkan seribu satu alasan saat tiba di rumah. Orang tua pasti marah dan cemas melihat anak perempuannya pulang di tengah hujan besar begini, jam segini. Jam pulang les sudah lewat beberapa jam lalu. Jadi aku tidak bisa menggunakan pulang les sebagai alasan.

Tapi alasan belajar di rumah teman untuk tembus jurusan yang aku – ralat – jurusan yang mereka inginkan bisa menjadi tameng absolut akhir-akhir ini. Bagaimanapun, aku harus cari alasan lain kalau-kalau tameng ini mulai karatan.

Aku mengucapkan salam perpisahan dengan sofa yang nyaman ini dan mulai berjalan ke pintu keluar mal.


Hujan masih mengguyur deras. Beberapa orang masih menunggu taksi di depan pintu mal ini. Aku harus berjalan ke luar untuk bisa langsung mendapatkan taksi. Namun aku tak membawa payung. Malam begini bukan waktu yang tepat untuk main hujan-hujanan. Besok ada ulangan fisika dan kimia, aku tak boleh melewatkannya hanya karena hujan-hujanan.

Ku lihat sekelilingku. 

Betapa beruntungnya aku, aku melihat seorang ojek payung yang sedang duduk menunggu pelanggan di pinggir pintu mal. Sudah jam segini tapi masih ada tukang ojek payung. Kasihan, ia harus mencari uang di tengah hujan dan sentimen negatif orang-orang mal. Ia sendirian. Mungkin teman-temannya sudah mendapatkan banyak uang dan pulang duluan. Atau mungkin ia mengalah kepada teman-temannya yang masih kecil untuk mendapatkan pelanggan. Aku tidak tahu.

Ya, aku berusaha untuk tidak menumbuhkan simpati. Tapi aku memang butuh ojek payung ini.

“Mas, ke parkiran taksi depan ya.



Mas?” 

Mukanya tampak layu seperti terlalu banyak disiram air. Mungkin aku pelanggannya yang ke seratus. Atau mungkin yang pertama, entahlah.

Ia mulai berdiri dan membuka payungnya. Kami berjalan perlahan. Kulihat ia berjalan dengan tatapan kosong. Seperti yang kelelahan. 

Tak ada obrolan. 

Yang ada hanya suara rintik hujan yang menggelitik payung. Beberapa kali terdengar klakson mobil dan motor. 

Berisik.


Tidak lama sampai kami tiba di parkiran taksi depan mal. Aku pun mengeluarkan selembar lima puluh ribuan.

“Mas, ada kembalian gak?” ia terbengong.

Tatapannya masih kosong.

“Mas?” kini sambil ku pegang tangannya.

Dia kemudian melihatku. Bisa kuduga bahwa mukanya kini penuh dengan kebingungan.

“Ini loh, tadi aku ngeluarin duit lima puluh ribuan buat bayar ojek payungnya mas. Mas punya kembalian gak? Tigapuluh ribu aja kembalinya.”

“Aduh, aku bukan ojek payung mbak. Aku kebetulan lagi duduk aja tadi. Cuma aku gak sadar kalo mbak minta ojek payung, aku kira mbak cuma minta anter aja.”

Ternyata orang ini bisa bicara juga. Dan kalau bukan ojek payung, sedang apa dia tadi duduk basah kuyup menyedihkan dengan payung di tangan kanannya seperti itu?

“Oh, maaf mas. Aku kira mas ojek payung. 

Saya cuma punya pecahan sepuluh ribu sama lima puluh ribu. Kalau mas mau dua puluhribu, boleh ambil limapuluh ribu ini, tigapuluh ribunya dibalikin ke saya.”

“Gapapa mbak, payungnya juga bukan punya saya kok.”

Kami saling berpandangan dan sedetik kemudian kami tertawa terbahak-bahak.

“Lah kok bisa, kamu bukan tukang ngutil kan?”

“Tenang aja, aku bukan tukang ngutil kok. Kalau diceritain panjang banget. Singkatnya, nama aku Aam.”

“Aam?”


“Iya, panggilannya Aam.


Amor.”

“Amor?”

“Iya.”

“Amor doang?”

“Iya. Gak pake doang.”

Aku tertawa kecil.

“kenapa ketawa?”

“Gapapa, lucu.


Namaku Fati.”



“Fatin? Kaya nama penyanyi itu?”


“Bukan, Fati tanpa ‘n’.”

“Oh, Fati. Nama lengkapnya?”

“Fati aja kok.”

“Wah unik juga ya, Fati Aja Kok.” Ia tersenyum. 

Aku tertawa lagi.

“Fati.” Ucapku sekali lagi.

“Amor.” Ucapnya.


“Jadi duitnya gak mau diterima nih?”

“Beneran, gak usah.”

“Oh ya kamu mau pulang ya? Aku bawa kendaraan, mau aku anter?”

“Gak usah, itu kayaknya udah ada taksi yang nungguin.”

“Oh yaudah kalo gitu.”

Kami saling berpandangan.


Lumayan lama. 

Satu payung berdua, jarak di antara kami tidaklah signifikan. Ku cermati matanya seperti lubang hitam yang bisa menyedot bintang paling terang sekalipun. Dan aku berusaha untuk tidak hanyut ke dalamnya.


Ia kemudian menyelamatkan waktu, juga aku, 

“Upah ojek payungnya diganti sama kontak kamu aja deh.”


Aku hanya tersenyum sembari berjalan mendekati taksi. Ia menemaniku jalan.


“Jika takdir adalah simpul, kamu tau gak dia itu simpul apa?” Pertanyaan ini tiba-tiba tercetus keluar begitu saja dari mulutku.

“Eh?

Coba aku pikir ya.


Takdir menurutku seperti simpul silang. Ia mengatur garis-garis yang membentuk huruf X atau +,” diikuti oleh ilustrasi kedua tangannya yang membentuk huruf X dan +,” di tengah X dan + ada titik. Di situ kita bertemu, tapi di situ juga kita berpisah. Karena masing-masing kita berada di garis yang berbeda, setelah bertemu di satu titik kita harus melanjutkan hidup kita masing-masing dalam garis kita sendiri. Perpisahan. Dan ada titik lagi. Pertemuan lagi. Begitu selanjutnya.

Menurut kamu, dia seperti apa?”

“Menurutku, takdir itu seperti simpul tambat. Ia menyatu dengan kita; melekat kuat dan mendekap erat. Jika harus ada perpisahan, setiap kali berpisah, aku ingin selalu bertemu dengan orang yang sama pada pertemuan selanjutnya dan selanjutnya dan selanjutnya. Hingga aku bisa melekat padanya dengan kuat dan mendekapnya dengan erat.”

Aku menengdah ke langit.



Hujan mulai reda.





“Pertemuan......” Gumamnya.

“Kapan kita ketemu lagi?” tanyanya penasaran.



Aku terdiam, menatapnya sekejap.


“Nama kamu Amor. Nama aku Fati. Apakah ada kontak yang lebih ajaib dari itu?” jawabku sambil tersenyum.

Ia pun membalas senyumanku.


Aku masuk ke dalam taksi dan kubuka jendela pintu.

Taksi berjalan, akupun berkata sambil tersenyum,
 “Daag Am!”

Ia berteriak sambil melambaikan tangannya, 


“Daag Fa, sampai jumpa lagi!”



Dia pun membalas senyumku dari kejauhan.






-----Leeuwarden, 14 Januari 2014------------


Ini adalah tulisan perdana untuk Teman Tinta. Tema menulis kali ini adalah serendipity. Apa itu Teman Tinta, jawabannya ada di blog Bima.


Comments