Menggubris Si Kelom Geulis

Setiap orang, seperti  apa yang Darwin katakan, akan berjuang untuk hidup melalui survival of the fittest. Entah dengan tujuan untuk meneruskan keturunan ataupun sekadar hanya bertahan hidup, kemampuan adaptasi dan sosialisasi dalam kehidupan bermasyarakat menjadi senjata pribadi paling ampuh. Perubahan-perubahan yang signifikan telah bermunculan baik dalam tataran teoritis maupun praktis. Terlebih lagi di era globalisasi yang menuntut banyak perubahan multidimensional. Perubahan yang dirasakan dalam kehidupan sehari-hari berujung pada teknologi dan alat yang bisa membantu kehidupan orang banyak menjadi lebih praktis dan efisien. Contoh sederhana adalah komputer yang bisa menghemat waktu dan tenaga dibandingkan mesin tik atau disk cakram yang jauh lebih murah dan kompatibel dibandingkan kaset pita.


Barang-barang seperti itu akan tergerus perlahan-lahan sampai suatu saat akan muncul satu generasi yang tidak mengenal barang-barang tersebut. Mereka akan mengenal barang-barang tersebut sebagai artefak di museum atau dari cerita kakek-nenek terdahulu mereka. Jika mereka beruntung, mereka akan mendapati barang-barang tersebut di lemari antik milik pendahulu mereka.  Mesin tik dan kaset pita yang menyimpan kenangan dan cerita di balik debu dan karat yang mengghinggapinya. Nilai jualnya bisa menjadi lebih tinggi dibandingkan komputer dan disk cakram. Kelangkaan dan nilai historis bisa membuat para penggemar barang antik berani merogoh koceknya dalam-dalam. Entah untuk mendapatkan perasaan nostalgia atau memang dirinya memiliki perasaan serupa dengan barang-barang tersebut, kuno dan antik.

Selain barang-barang seperti kaset pita dan mesin tik, banyak barang lainnya yang harus digantikan para suksesornya. Salah satu barang yang bernasib serupa adalah Kelom Geulis. Kelom geulis tidak kalah menarik dibandingkan mesin tik atau kaset pita. Ia menyimpan cerita yang menarik dan juga unik. Benda ini sering digunakan oleh mojang priangan. Kelom geulis, seperti namanya, dikhususkan untuk memoles kaki wanita agar menjadi geulis. Kelom berarti sandal kayu dan geulis artinya cantik. Secara harfiah kelom geulis adalah sandal kayu yang cantik. Kelom ini bisa digunakan untuk berbagai acara karena motif dan hiasannya yang variatif. Namun begitu popularitas kelom geulis mengalami pasang surut. Banyak wanita yang enggan menggunakan kelom geulis karena dinilai tidak praktis untuk aktivitas sehari-hari. Alasan praktis inilah juga yang membuat nasib kebaya dan samping hilang dari peredaran pakaian sehari-hari tergantikan celana jins dan kaos oblong. Terlebih di kota-kota besar di Jawa Barat. Tidak heran jika kebaya dan samping hanya muncul beberapa tahun sekali dalam acara-acara khusus, kini kelom geulis lebih banyak dipilih sebagai pajangan suvenir wisata.

Perubahan kebudayaan dalam era globalisasi telah menjadi fenomena yang umum. Globalisasi menyambungkan aspek-aspek multidimensi yang beragam dalam kehidupan sehingga identitas yang satu dan lainnya menjadi saru. Hal ini menjadi wajar karena sesuai yang diutarakan John Lewis Gillin dan John Philip Gillin, perubahan kebudayaan adalah suatu variasi dari cara-cara hidup disebabkan oleh perubahan-perubahan kondisi geografis kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi, maupun karena adanya difusi dan penemuan baru dalam masyarakat. Perubahan ini bisa saja karena adanya globalisasi. Intensifikasi di bidang aktivitas lintas batas, arus informasi, dan juga ekonomi yang memperkuat cita rasa dari globalisasi. Meskipun demikian, Roland Robertson berpendapat bahwa bahwa globalisasi bukanlah konsekuensi langsung dari modernitas.

Globalisasi dan Kelom Geulis
Globalisasi berkaitan erat dengan modernitas memang benar. Revolusi industri telah memicu proses transfer teknologi ke seluruh pelosok dunia. Proses ini meninggalkan jejak-jejak kebudayaan yang kurang lebih serupa sehingga mengerucut menjadi kebudayaan global. Hal ini diintensifikasi oleh peran media informasi global yang secara gradual melunturkan identitas lokal dan rasa memiliki terhadap kebudayaan aslinya. Berpijak pada pandangan ini, wanita akan lebih senang menjadi bagian dari globallitas (globality) dibandingkan merengkuh lokalitasnya (locality). Dengan begitu wanita akan lebih senang memakai sepatu bermerk luar negeri dibandingkan kelom geulis buatan lokal.

Semakin pudarnya rasa memiliki terhadap kolam geulis bisa menjadi pertanda bahwa budaya lokal sudah tidak sanggup lagi menahan penetrasi budaya global. Meski bukan asli dari Indonesia, kelom geulis memiliki sentuhan yang didominasi oleh tatar Sunda. Jika hilang, maka satu lagi produk lokal kebudayaan lokal yang harus tunduk pada kuasa produk-produk global. 

Kelom sendiri berasal dari bahasa Belanda yaitu Klomp yang berarti sepatu kayu. Klomp mengalami akulturasi saat masa kolonialisme Belanda di Indonesia. Klomp terbuat dari kayu yang sangat keras seperti Jati karena kegunaannya yang sebagai pelindung kaki saat melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar dan berat.  Ukuran yang besar dan juga berat menjadi alasan untuk memodifikasi klomp Belanda untuk digunakan di Indonesia. Saat ini klomp juga sudah jarang digunakan oleh warga Belanda terlebih di kota-kota besar seperti Amsterdam, Rotterdam, dan Den Haag.  Mereka dapat ditemukan terpajang manis di toko-toko suvenir sebagai hiasan. Salah satunya juga menyambut para pendatang di bandara Internasional Schipol di Amsterdam.

Klomp yang Menjadi Pajangan
Namun begitu di beberapa daerah seperti Workum, Leeuwardem, dan Hindeloppen, yang sebagian besar penduduknya masih melakukan aktivitas bertani, berkebun, dan beternak, klomp masih menjadi bagian dari alas kaki mereka.  Hal ini menjadi bukti bahwa klomp sendiri sudah tergeser posisinya oleh sepatu modern. Meskipun demikian, klomp Belanda telah mendapat sertifikat kenyamanan karena tahan terhadap benturan keras dan tajam serta beberapa jenis asam. Klomp ini masih memiliki daya saing terhadap sepatu modern. Tetap saja popularitas klomp tidak setinggi sepatu-sepatu modern. Ternyata fenomena klomp dan kelom geulis hampir serupa. Mereka tergeser oleh kebudayan global seperti sepatu sneakers, pantofel, high heels, dan sebagainya.

Klomp Khas Friesland (warna biru),
 bisa dipajang di lemari atau diselipkan di kaki .

Padahal kelom geulis pernah dilirik oleh warga London pada tahun 1955. Pada saat itu Soepomo, Duta Besar Inggris untuk RI, sedang merayakan Kemerdakaan RI yang ke sepuluh bersama putrinya, Suharmi Sentanu. Beberapa wartawan memotret Suharmi Sentanu yang ternyata sedang menggunakan kelom geulis. Sore harinya, tumit Suharmi yang mengenakan kelom geulis terpampang di halaman muka harian Evening Standard London. Rupanya walaupun kelom geulis masih polos dan tanpa polesan apapun, kelom geulis telah menarik perhatian para wartawan yang hadir saat itu. Kejadian ini tentu saja membuat kelom geulis menjadi glamor pada masanya. Berita ini terdengar hingga ke telinga wanita di Indoensia sehingga banyak dari mereka yang menggunakan kelom geulis. 

Kelom Geulis tanpa Polesan (sumber gambar asli dari sini)


Hegemoni Budaya dan Kelom Geulis
Gramsci mendefinisikan hegemoni budaya dalam bukunya The Prison Notebooks yang diterbitkan tahun 1971 sebagai:
the combination of force and consent, which balance each other reciprocally, without force predominating excessively over consent. Indeed, the attempt is always made to ensure that force will appear to be based on the consent of the majority.
Kebudayaan global menjadi konsen mayoritas sehingga secara tidak sadari nilai-nilai masyarakat yang dominan berbaur dalam produk-produk kebudayaan. Konsen, yang sering ditafsirkan sebagai dominasi simbolis oleh Bourdieu, ini memperjelas batasan masyarakat kelas dalam pandangan Gramsci yang pada akhirnya akan berujung pada class consciousness. Dalam tulisan ini, kelom geulis tentunya tidak akan dikupas habis dalam perspektif teoritis Gramscian yang mendalam. Untuk mengkontraskan kebudayaan global dan lokal, perspektif Gramscian ini sangat menarik untuk digunakan.

Dilihat dari perspektif Gramscian, Kelom Geulis harus berhadapan dengan gempuran-gempuran produk luar negeri sebagai bentuk hegemoni kebudayaan. Hegemoni kebudayaan adalah salah satu bentuk koersi. Koersi ini tampak transparan namun nyata karena tidak diatur oleh negara dan juga norma umum namun diatur oleh masyarakat itu sendiri.  Dalam hal ini, banyak wanita yang seringkali gengsi memakai kelom geulis. Dalam benak mereka kelom geulis itu masih tampak tradisional. Contoh sederhana adalah banyak mahasiswi yang kuliah lebih nyaman menyelipkan jemari kakinya ke dalam flat shoes, wedges, dan high heels. Hal ini justru akan menjauhkan mereka dari barang-barang yang seharusnya mereka kenal karena keberadaan historis dan kulturalnya.

Selain itu ekonomi imperialisme juga seolah memarginalisasi kelom geulis. Kelom geulis sebenarnya memiliki banyak diferensiasi produk dan dapat ditemukan di beberapa pusat perbelanjaan. Di Bandung banyak kelom geulis yang berjejer dijual di Cihampelas dan Pasar Baru. Namun sangat sedikit kelom geulis yang menjadi produk high fashion dan dijual di mal-mal besar seperti Ciwalk, TSM, atau PVJ. Mereka kalah saing dengan produk-produk luar negeri. 

Apa yang dihadapi Kelom Geulis ini mungkin tampak sepele. Namun dibaliknya lebih banyak lagi produk-produk tradisional yang mengalami nasib serupa atau bahkan terancam punah. Sebut saja perkakas memasak dan menanak nasi yang sering digunakan masyarakat Sunda. Di kota besar, kehadirannya telah tergantikan mesin ajaib magic jar. Terlebih dengan adanya ACFTA, ASFKTA, dan perjanjian perdagangan bebas lainnya yang melibatkan Indonesia, (industri) kelom geulis dan barang-barang sejenis lainnya berada di titik nadir. Kompetisi dan profit menjadi poin yang paling dikedepankan. Pihak yang memiliki modal besar akan membuat produknya dominan di pasaran dan cenderung mengontrol/mempertahankan posisinya dengan memproduksi banyak barang serupa. Bagaimana akhirnya Cibaduyut kolaps dalam industri dalam negeri sendiri bisa menjelaskan hal tersebut.

Aksi
Seringkali masalah kebudayaan yang dianggap 'transparan' ini menyebabkan tidak ada otoritas yang mengambil tindakan. Tidak hanya terhadap Kelom Geulis saja tapi juga teman-temannya. Mereka hanya dianggap barang yang praktis yang perubahannya selalu dinamis. Orang-orang cenderung diam menanggapi hal ini. Padahal ada beberapa cara untuk menghidupkan keglamoran Kelom Geulis. Yang pertama adalah dengan pewajiban penggunaan Kelom Geulis. Serupa dengan yang telah dilakukan Pemerintah Kota Bandung yang mewajibkan para PNS pria untuk menggunakan iket Sunda pada hari Rabu, para PNS wanita juga bisa diwajibkan menggunakan Kelom Geulis. 

Yang kedua adalah pembentukan komunitas pencinta Kelom Geulis. Sama seperti komunitas batik, iket Sunda, atau lainnya, komunitas adalah cara yang paling efektif untuk menyebarkan ide dan gagasan yang populer. Komunitas ini tak harus formal. Bisa dibentuk di kantor, kampus, atau sekolah. Bisa juga diintegrasikan dengan komunitas Kebudayaan seperti menggabungkan pakaian batik, iket Sunda, dan Kelom Geulis. Selain itu aktivitas komunitas pun harus disebarkan di media-media sosial sehingga berdampak viral. Yang ketiga, pemerintah harus aktif dalam memfasilitasi UKM yang ingin mengembangkan usahanya dalam industri kreatif seperti Kelom Geulis. Karena selain modal yang minimum, banyak para pengusaha UKM memiliki kemampuan pemasaran yang kurang mumpuni sehingga.

Pada akhirnya usaha mempertahankan kebudayaan memanglah sulit. Dasarnya, budaya memang bersifat dinamis. Namun begitu bukan berarti merelakan kebudayaan lokal bisa dilahap begitu saja oleh kebudayaan global. Karena kebudayaan mencerminkan identitas kita dalam hal ini konteks berpakaian. Tentu kita harus bisa menyesuakian pakaian kita dengan acara yang kita hadiri, namun bukan berarti tidak bangga menggunakan 'pakaian sendiri'. 

Seperti yang pernah dikatakan Umberto Eco, 



"We spoke through our clothes." 




-------------------------------

Leeuwarden, 12 Maret 2014.

Ditulis untuk #temantinta dengan tema Kelom Geulis :)

Comments

Post a Comment