Tentang Pilkada Serentak 2015 di Jawa Barat





"Kok mau pak susah payah ke TPS di tengah banjir?"

Judulnya agak melenceng dari kebiasaan saya menulis penuh keresahan dan gundah gulana. Tapi serius, tulisan ini berawal dari gundah gulana saya yang menumpuk minggu lalu. Awalnya beneran mau memanifestasikan perasaan kalut dan galau menjadi kata-kata sok puitis dan romantis tapi entah kenapa juntrungannya malah ke sini. Ya sudah. Lanjut. Kalau memang lebih membosankan daripada sebelumnya, silakan tutup hati lamannya dan kasih duit kritik. 
Minggu lalu, tepatnya tanggal 9 Desember Indonesia (gak semuanya sih, ini majas totem pro parte aja) untuk pertama kalinya menyelenggarakan Pilkada Serentak. Dari namanya sudah bisa diterka bahwa pilkada serentak ini adalah pesta demokrasi yang penyelenggaraannya dilaksanakan serentak di berbagai daerah untuk memilih kepala daerah.  Belum bosen? Lanjut.
Menurut saya, awal mula pilkada serentak ini adalah saat Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa pileg dan pilpres dilaksanakan secara serentak pada pemilu 2019 mendatang. Hal itu sebagaimana putusan MK yang mengabulkan uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) yang diajukan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak. Hal tersebut menjadi model dasar bagi penyelenggaraan pilkada serentak sehingga pada tahun 2014 dibuatlah PP Nomor 1 Tahun 2014 yang diubah menjadi undang-undang, yaitu UU Nomor 1 tahun 2015 yang kemudian diubah lagi menjadi UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang pemilihan kepala daerah (Gubernur, bupati, dan walikota, serta para wakilnya) yang dipilih secara serentak. Banyaknya perubahan pasal dan ayat dalam UU tersebut di mata saya merupakan sikap gurung gusuh pemerintah dalam menyelenggarakan pilkada serentak yang terdekat di tahun 2015.
Sesuai dengan amanat UU Nomor 8 Tahun 2015 tersebut, seharusnya ada 269 daerah yang mengikuti pilkada serentak pada 9 Desember lalu. Namun begitu ada lima daerah yang ditunda pelaksanaanya yaitu Provinsi Kalimantan Tengah, Kabupaten Fakfak, Kabupaten Simalungun, Kota Manado, dan Kota Pematangsiantar, dibatalkan atau ditunda. Hal ini didasari oleh komplain dan sengketa pasangan calon seperti perubahan komposisi pasangan calon (paslon) kepala daerah, gambar paslon tidak tercetak di surat suara, paslon ternyata tidak sesuai dengan kriteria. Persoalan pilkada serentak tersebut tidak hanya itu saja, sebelum dan sesudah pelaksanaan pemilu juga banyak laporan di berbagai daerah mengenai pelanggaran-pelanggaran etika yang yang diterima KPU dan Bawasalu, dan juga DKPP. Meski demikian saya harus melihat gambar besar, bahwa lima daerah yang tertunda penyelenggaraannya dibandingkan dengan 264 lainnya membutuhkan kerja keras dan kesiapan panitia dalam menyelenggaran Pilkada Serentak kali ini.
Pilkada Serentak di Jawa Barat dimeriahkan oleh delapan kota dan kabupaten: kota Depok, kabupaten Sukabumi, kabupaten Indramayu, kabupaten Cianjur, kabupaten Karawang, kabupaten Bandung, dan kabupaten Pangandaran. Sebenarnya saya tidak terlalu suka politik (yang berlawanan dengan status single gelar sarjana saya). Tapi karena saya warga Jawa Barat (yang gak ikut pilkada serentak tapi cuma ikut ramein) dan punya waktu cukup luang (gak ada kerjaan), akhirnya saya berujung menulis ini. Saya tidak akan membahas mengenai dinamika politik di masing-masing daerah karena jujur saya lebih tertarik pada penyelenggaraan dan partisipasi daripada kontestasi politik di antara paslon di masing-masing daerah.

Jumlah Pasangan Calon
Salah satu yang menjadi kontras dari delapan daerah ini adalah jumlah paslon sebanyak 23 pasang dengan distribusi yang tidak merata. Paling banyak adalah Karawang dengan enam paslon, diikuti oleh Sukabumi, Cianjur, Pangandaran dan Kabupaten Bandung dengan tiga paslon, Depok dan Indramayu dengan dua paslon, diakhiri Tasikmalaya dengan paslon tunggal. Perbedaan jumlah pasangan ini dinilai sesuai dengan demografi pemilihnya dan situasi politik daerahnya. Contohnya, Karawang menjadi paling banyak paslon karena merupakan daerah industri dan strategis sehingga banyak koalisi partai terbentuk mengusung tiga paslon. Bukan hanya usungan koalisi partai tapi juga tiga paslon berasal dari jalur independen. Sementara di Tasikmalaya, setelah masa pencalonan selesai hanya muncul satu paslon saja. Awalnya pilkada serentak di Tasikmalaya juga akan ditunda karena memiliki paslon tunggal namun putusan MK memperjelas legal standing mekanisme paslon tunggal menggunakan pilihan setuju atau tidak setuju yang biasanya disebut referendum. 
Dari 46 orang calon kepala daerah tersebut, jumlah keterwakilan perempuan berada di 8,7% dengan jumlah 4 orang yaitu Yeni (Karawang), Cellica Nurrachadiana (Karawang), Anna Sophana (Indramayu), dan Azizah Talita Dewi (Pangandaran). Menurut saya jumlah tersebut masih kecil.
Yang mencolok dari semua paslon adalah semua petahana di masing-masing daerah ikut berpartisipasi. Kecuali Pangandaran, kabupaten yang baru terbentuk dari pemekaran Ciamis yang otomatis membuat pilkada serentak ini sebagai malam pertamanya Pangandaran. Sehari setelah pilkada serentak digelar, banyak media massa mencantumkan berita utama “Pilkada Serentak Milik Petahana” dengan menunjukan hasil hitung cepat beragam versi. Salah satunya hitung cepat versi Cyrus network. Tidak mengejutkan. Berdasarkan wawancara dengan pengamat politik Universitas Padjadjaran, Prof. Obsatar Sinaga, kemenangan petahana sangat sulit diambil paslon lainnya. Hal ini karena paslon petahana masih memiliki akses informasi, dana, dan juga kekuasaan yang masih mengakar. Walaupun ada kemungkinan abuse of power, dengan pengawasan ketat KPU dan Panwaslu, hal tersebut (katanya) bisa diminimalisasi. Selain itu kepuasan masyarakat terhadap kinerja petahana juga perlu diperhatikan.

Partisipasi Politik Masyarakat
Semarak pilkada serentak ini selain ditentukan jumlah partisipasi paslon, juga ditentukan partisipasi politik masyarakat. Banyak yang bilang pilkada serentak kali ini kurang semarak. Sepi. Hal ini dinilai wajar karena selain jumlah paslon yang distribusinya tidak merata, disebabkan juga oleh tingkat partisipasi politik masyarakat dalam menyalurkan hak suaranya yang masih rendah. Saya pernah mewawancarai Ketua KPU Kabupaten Bandung, Atip Tartiana, terkait dengan sepinya pilkada serentak kali ini. Atip menjelaskan salah satu faktornya adalah karena keterbatasan media kampanye atau Alat Peraga Kampanye (APK) yang diatur langsung oleh KPU dalam pilkada kali ini sehingga popularitas dan elektabilitas paslon tidak terdongkrak secara signifikan. Berbeda dengan paslon petahana yang memiliki media tertentu untuk tetap menggaungkan namanya, paslon lainnya hars berjuang ekstra keras untuk mendapatkan lampu sorot panggung politik. Bisa jadi ini strategi. Namun kurang adil bagi paslon lainnya. Hal ini tentunya berdampak pada informasi yang diterima masyarakat yang berujung pada rendahnya partisipasi mereka.
Data sementara yang didapatkan dari KPU Provinsi Jawa Barat, rata-rata tingkat partisipasi masyarakat hanya berada di kisaran 60%. Jauh di bawah target yang ditetapkan KPU Pusat pada kisaran 70%-80%. Saya pernah berbincang dengan Komisioner KPU Provinsi Jawa Barat, Endun Abdul Haq yang menyebutkan tingkat partisipasi paling tinggi berada di Pangandaran dengan kisaran 80%. Sementara terendah berada di Depok dengan kisaran di bawah 60%. Di Pangandaran antusiasme masyarakat begitu tinggi pada pilkada serentak pertama, mencapai hampir 80%. Selain itu, banyak pemilih di Pangandaran yang memang tinggal dan bekerja di sana sejak lama sehingga memudahkan mencapai TPS. Sementara di Depok tingkat partisipasi memang rendah berdasarkan survei dan juga pileg dan pilpres sebelumnya. Hal ini kemungkinan besar karena kota Depok merupakan bagian dari kota Metropolitan dengan pemilih yang bekerja di luar kota dan mobilitas tinggi sehingga sulit untuk pulang. Hal ini didukung oleh fakta beberapa rekan saya yang kerja di luar Depok dan enggan pulang hanya untuk pilkada serentak ini.
Hal yang menarik lainnya adalah tingkat partisipasi di Tasikmalaya yang mencapai 60%. Sebelumnya saya mengira tingkat partisipasi di Tasikmalaya akan tinggi karena masyarakat penasaran terhadap mekanisme pilkada dengan paslon tunggal. Ternyata saya salah. Malahan, banyak warga yang salah mencoblos. Harusnya mencoblos di dalam kotak setuju atau tidak setuju, mereka malah mencoblos gambar paslon. Padahal tidak sedikit dari mereka yang ikut sosialisasi mekanisme ini. Dari sini saya bisa menarik kesimpulan bahwa kesadaran politik masyarakat masih semenjana. Endun juga menambahkan beberapa faktor lain penyebab rendahnya partisipasi masyarakat seperti sikap politik masyarakat dan faktor alam. Sikap politik masyarakat ini berhubungan dengan golput baik golput idealis maupun pragmatis. Walau sulit diidentifikasi secara akurat dari kuantitas dan kualitas, angka golput di Jawa Barat masih cukup besar. Wawancara dengan Ketua tim peneliti Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran, Muradi, mencerahkan pemahaman saya tentang angka golput di Jawa Barat. Survei yang dilakukan timnya menunjukan potensi golput pada pilkada serentak 2015 ini berada di kisaran 40% dengan potensi terbesar di Karawang mencapai 42%. Sementara faktor alam berpengaruh terhadap kelancaran distribusi logistik dan niat pemilih pergi ke TPS (ternyata masih banyak yang horeaman). Tak sedikit daerah yang harus dicapai menggunakan perahu karena jalur darat yang jauh seperti di desa Agrabinta Cianjur ataupun berjalan kaki karena kondisi alam yang tidak memungkinkan seperti terjadinya longsor sehari sebelum pilkada serentak di Cigalontang Tasikmalaya yang menghambat distribusi logistik. Namun begitu, hal tersebut sudah diantisipasi oleh panitia dan pihak kepolisian di daerah rawan bencana. Selain itu, antusiasme masyarakat di daerah rawan bencana juga patut diacungi jempol. Seperti di kampung Cienteung Kabupaten Bandung, walaupun banjir masih menggenang kampung warga, tidak sedikit dari mereka yang pergi ke TPS baik menggunakan perahu maupun berjalan kaki. Hasil nodong wawancara saya dengan mereka, menunjukan banjir tidak ada apa-apanya dibandingkan keinginan mereka untuk mengubah nasib mereka melalui partisipasi politik.  


Sebenernya pengen posisi berdiri menerjang banjir


Kesimpulan
Bagi saya pilkada serentak ini cukup menarik namun tidak cukup menghentak. Menarik karena yang kesan pertama selalu menggoda, selanjutnya terserah anda biasa saja. Pemerintah menjanjikan efisiensi biaya, waktu, dan tenaga. Ternyata masih banyak surat suara yang rusak dan telat. Belum lagi sengketa dan aduan yang bertubi-tubi. KPU pun kewalahan untuk menindaklanjuti semua aduan. Memang benar semua itu biasa terjadi selama pemilihan berlangsung. Di satu sisi, KPU dan lembaga lainnya telah bekerja seoptimal mungkin baik itu dalam sosialisasi maupun persiapan. Salah satunya dengan memberikan akses bagi pemilih dengan disabilitas, pasien rumah sakit, dan penghuni lapas. Selain itu KPU juga mengaku sudah mendekatkan TPS ke warga sehingga memudahkan mereka untuk menyalurkan suaranya. Di sisi lain, masih banyak masyarakat yang belum paham akan pentingnya pilkada serentak ini. Tidak sedikit yang apatis terhadap pemilihan seperti ini. Mereka tidak bisa disalahkan karena bisa jadi visi misi paslon tidak ada yang menarik hati mereka sehingga mereka memutuskan untuk tidak memilih. Menuju pilkada serentak selanjutnya, dua hal yang bisa saya pelajari bahwa pendidikan politik ternyata masih menjadi hal yang asing bagi masyarakat dan persiapan pilkada serentak harus dimatangkan betul-betul. Apapun itu, semoga pemimpin yang terpilih adalah yang amanah dan dapat mensejahterakan rakyatnya. Rencananya pengumuman resmi dari KPU mengenai paslon terpilih antara tanggal 18 hingga 23 Desember mendatang. Semoga juga banjir di kampung Cienteung Baleendah bisa secepatnya diatasi.

Comments