Catatan Perjalanan Tesis I


"Ada yang tak kuasa kita tolak dalam hidup, seberapa keras kita menyangkal. Ada juga yang tak kunjung kita dapatkan, seberapa sering kita memohon. Menerima dan berserah diri, kita tak butuh menyangkal atau memohon." ~ Nenek, diterjemahkan dari bahasa Sunda.
Post dengan label Catatan Perjalanan Tesis yang menjadi penelitian selama kurang lebih dua tahun aku kerjakan dan bulan Agustus tahun lalu sudah aku selesaikan adalah bagian dari jurnal pribadiku (buku harian/catatan perjalanan). Entah mengapa kali ini aku ingin menuangkannya di sini. Mungkin karena sudah genap satu tahun sejak aku mengambil data di lapangan (tak terasa sudah akhir Maret!) ada dorongan bawah sadar untuk mendokumentasikannya di sini. Atau mungkin karena apa yang aku tulis di sini mencerminkan hal-hal penting dalam hidupku. Tak terkecuali tesisku ini. Tentunya tulisan ini dibuat dengan modifikasi redaksi kalimat agar layak baca, namun konten tetap sama.
Bandung, 16 Maret 2015
Malam itu hujan cukup keras mengetuk-ngetuk atap mobil. Adikku, Nugraha, duduk di depan sibuk mengelap kaca depan mobil karena wiper sudah lama uzur. Entah mengapa tak kunjung diganti. Babeh duduk di bangku kemudi. Sementara aku dan adikku satu lagi, Gumilar, harus duduk berdesakan di belakang bersama ransel padat ukuran 60 liter. Suara Babeh yang menasihati kami bertiga tentang ini dan itu tak kalah oleh nyaringnya bunyi petir dan hujan. Namun begitu hujan di luar lebih menarik untuk diperhatikan. Sayup-sayup terdengar suara bagian mobil yang karatan butuh diolesi oli atau lampu lalu lintas yang merah-kuning-hijau menjadi blur. Aku menempelkan keningku ke kaca yang dialiri tetesan hujan.
Setelah melirik jam tangan setiap lima menit sekali, kami tiba pada lirikan ke sembilan. Nugraha keluar terlebih dahulu agar aku dan Gumilar bisa menyusulnya. Aku mengoper ranselku kepada Nugraha. Sementara Babeh melihat dari bangku supir. Mobil diparkir gerbang stasiun kereta api Kiaracondong agar terhindar dari ongkos parkir. Aku pamit kepada Babeh dan berlari ke dalam stasiun diikuti Gumilar dan Nugraha.
Saat tiba di depan pintu loket, aku melihat ke sekeliling dan sudah banyak orang berkerumun: menunggu kereta, menunggu keluarga, menunggu tiket, atau sekadar berteduh. Mereka membawa barang cukup banyak, diwarnai harapan atau kecemasan yang terbesit di muka mereka. Itu pula mungkin yang dapat orang-orang lihat di mukaku. Ada perasaan campur aduk antara cemas, senang, sedih, lega, dan nelangsa setiap aku duduk di bangku stasiun, terminal, maupun bandara. Ku tengok kedua adikku. Mereka juga sama basah kuyup sepertiku. Awalnya aku ragu untuk memeluk mereka karena kami sama-sama basah kuyup. Tapi setelah melihat muka mereka, aku spontan memeluk mereka satu persatu.
“Jaga Babeh sama Mamah ya.” Aku pamit berangkat.
“Hati-hati. Jaga diri, A!” Ucap mereka hampir berbarengan.
Setelah menukar tiket yang sudah aku pesan daring, aku bergegas menuju kereta yang sudah menunggu. Petugas kereta api memeriksa identitasku dengan teliti sebelum aku naik kereta. Lima menit kemudian, aku bertolak menuju Jember.
Berangkat!


Aku percaya hidup ini terdiri dari fragmen-fragmen yang harus diselesaikan. Rangkaian episode yang sambung menyambung. Seberapa sebal dan kesal kita terhadap satu episode, tidak menjadi alasan bagi kita untuk berhenti menjalani episode tersebut. Perjalanan ini adalah untuk menuntaskan satu episode sebuah penelitian yang sudah lama aku tunda. Entah karena takut, entah karena malas. Ketakutan kadang menyaru menjadi kemalasan, begitu pun sebaliknya. Dan akhirnya aku (dan juga mungkin kamu) sering kali membuat rasionalisasi berupa alasan-alasan untuk menjustifikasi kemalasan dan ketakutan tersebut. Untuk mengalihkan ketakutan dan kemalasan itu, aku menyibukkan diri dengan ragam pekerjaan tanpa sadar ketakutan dan kemalasan itu semakin menumpuk dan menyesakkan.
Dulu, aku sangat idealis dan antusias untuk meneliti topik yang aku sukai, terlepas dari penelitian itu feasible atau tidak. Aku mengajukan tiga topik penelitian: evaluasi program lingkungan pemkot Bandung, kearifan lokal masyarakat Kampung Cirendeu, dan partisipasi komunitas dalam REDD+. Aku fokus dan menitikberatkan preferensi ke topik nomor dua karena selain lokasinya yang dekat yaitu di Cimahi, aku memang sejak dulu tertarik dengan way of life masyarakat sana. Namun, dosenku mengatakan bahwa topik nomor dua terlalu mudah bagiku. Ia pun menggeser penelitianku menjadi topik nomor tiga. Alasan awal aku mengikutsertakan topik nomor tiga adalah karena aku tertarik dengan partisipasi komunitas dan juga REDD+ yang merupakan kebijakan lingkungan internasional yang diadopsi menjadi kebijakan nasional. At least it is more closely related with my previous study, i thought. Persoalannya adalah, lokasi REDD+ di pulau Jawa ini hanya ada di Jember dan Banyuwangi, ujung timur pulau Jawa.
Aku menyadari bahwa penelitian tersebut terlalu luas cakupannya, terlalu banyak indikator yang harus dirumuskan, terlalu melampaui batas anggaran, dan terlalu lama waktu dan jarak tempuh. Tapi nasi sudah menjadi bubur, apa boleh buat. Sebelum pergi ke Belanda, aku mengatakan pada diriku, aku harus konsisten dengan pilihanku beserta konsekuensi di baliknya. Pilihanku hanyalah dua, terus menunda tesis tersebut hingga aku terperosok perlahan-lahan pada kegagalan atau melakukannya.
***
Di depanku ada sepasang muda-mudi yang asyik berbincang. Setelah bosan, akhirnya sang pemudi tidur, sang pemuda masih melek. Ia lantas menancapkan pandangannya ke ransel yang aku coba apit dengan kedua pahaku. Ia lantas melirik ke bagasi atas di mana sebuah koper vintage kecil berbaring lucu.
“Sendirian mas?” Ucapnya basa-basi memulai percakapan.
“Iya.” Jawabku datar.
“Mau ke mana mas?” Mungkin ia sudah tidak bisa membendung rasa ingin tahunya.
“Ke Meru Betiri.”

“Di mana itu? Gunung? Atau Pantai?”
“Taman nasional di Jember dan Banyuwangi.”

“Bawaannya kok banyak banget?” Tanyanya sambil memperhatikan trekking pole yang menyembul dari jaring saku sebelah kanan dan monopod sebelah kiri ranselku. Aku betulan seperti samurai yang membawa dua pedang di kiri-kanan badan.
“Persiapan untuk tiga bulan, kurang lebih.” Ucapku datar.
“Gak sama temen-temennya, mas?”
“Enggak, ini buat penelitian soalnya.”
“Kok mau pergi sendirian?”
“Iya, pilihan sendiri sih.” Ucapku sambil tersenyum. Entah mengapa aku tersenyum, harusnya aku merasa tersinggung.

Aku buru-buru tanya balik agar ia berhenti bertanya. Ia dan pacarnya sedang liburan ke Yogyakarta selama tiga hari untuk mengisi libur semester. Mereka berdua baru pertama kali liburan bareng. Mereka juga baru jadian, sekitar empat bulan lamanya. Setelah mengantuk, ia pamit tidur, aku mengambil buku yang terselip di kepala ransel dan lanjut membaca The Goldfinch karya Donna Tart. Aku baru sampai pada cerita Theo kehilangan ibunya dalam tragedi bom di New York. Sejauh ini, impresi yang aku dapat tentang kehilangan dan titik nadir kehidupan dalam novel Tart adalah kehilangan itu sama seperti kematian: dekat dan tak terelakkan. Kita kehilangan setiap detik yang kita nikmati, momen, orang yang kita kenal dan tidak, dan sering kali kita kehilangan diri kita sendiri. Namun kenangan dan jejak semua kehilangan itu terekam jelas di otak dan menjadi hantu dalam hidup. Aku suka sudut pandang dan gaya bahasa Tart tentang kehilangan. Mungkin karena aku begitu tertarik – mungkin terobsesi – dengan rasa apa itu kehilangan.
Bunyi roda kereta api yang khas menggesek rel, sawah dan rumah yang berganti rupa dengan cepat, kabel-kabel listrik yang meliuk-liuk menyenangkan diikuti mata, masih setia menemaniku menghabiskan malam. Aku membaca buku sampai tertidur. Kadang terbangun karena posisi punggung yang tak enak dan kaki yang menekuk menahan ransel. Karena kereta yang aku tumpangi ini ekonomi, ia masih berhenti di hampir setiap stasiun yang dilewatinya. Namun begitu, kehadiran pendingin ruangan di gerbong ekonomi ini adalah salah satu hal yang perlu aku syukuri dalam perjalanan ini.
***
Yogyakarta, 17 Maret 2015
Apa pentingnya perjalanan dari rumah menuju warung? Apa itu bisa disebut perjalanan? Apa masih bisa berarti? Ya, berarti. Setidaknya bagi aku usia enam tahun. Tiap kali seseorang menyuruhku membeli sesuatu ke warung, aku menjadi semangat karena aku bisa bertualang melewati jalanan yang dilalui motor-motor gangster, embusan angin tornado, dan berhadapan dengan raja warung. Dengan jarak kurang lebih 100 meter, perjalanan seperti itu bagi aku saat itu sangat mungkin terjadi.
Sejak kecil aku terkagum dengan istilah perjalanan karena menganggap perjalanan bersinonim dengan petualangan. Mendengar kata petualangan, mataku mendadak berbinar-binar, jantungku berdegup kencang, dan terpikir oleh aku kecil untuk menjelajahi tempat-tempat baru. Aku selalu senang membaca cerita petualangan seperti Sinbad, Tin Tin, dan Lima Sekawan. Sewaktu sekolah dasar, aku dan teman-teman sering berjalan kaki menjelajahi tempat yang kami anggap agak jauh dari lingkungan rumah: bermain bola di sebuah taman di jalan Gajahlumantung yang juga kami jadikan tempat melamun – waktu yang paling asyik untuk melamun di sana adalah setelah Jumatan sambil menyedot es teh dibungkus plastik –, mencoba masuk ke Kebun Binatang Bandung gratis dengan muka memelas, memilih satu chiki di antara deretan banyak chiki di Yogya BIP, bersepeda keliling Bandung dipandu buku map kota Bandung. Aku bahkan masih teringat ketika kakak sering mengajakku berjalan kaki untuk membaca di perpustakaan Jawa Barat yang dulu masih terletak di Jalan Cikapundung. Walaupun saat itu bulan puasa, kakakku berkata bahwa jika aku batal puasa, jangan salahkan langkah kaki yang panjang atau lelahnya tubuh, tapi salahkan niat yang kurang kuat. Meski aku sampai rumah dengan mengomel dan mengadu ke orang tua, aku cukup bahagia tidak batal puasa.

Saat duduk di bangku SMP, aku mengikuti ekstrakurikuler PRAMUKA hanya karena ada kegiatan lintas alam tiap dua minggu sekali. Dan hal tersebut membuatku berani untuk pergi liburan keluar kota sendiri: Jakarta. Meski saat itu aku sempat tersesat dan hampir ditipu orang, aku berhasil sampai tujuan. Sedikit demi sedikit, aku sadar bahwa petualangan tidak melulu diwarnai kebahagiaan atau kesenangan. Perjalanan adalah satu butir mutiara dan petualangan hanyalah satu sisinya, bergantung sisi mana seseorang menikmati dan memahaminya.
Aku tiba di stasiun Lempuyangan Yogyakarta pukul lima pagi lewat tiga puluh menit. Setelah bersih-bersih, aku beranjak mencari sarapan ke depan stasiun. Aku hanya transit hingga pukul sembilan kurang. Masih ada kurang lebih tiga jam untuk dibunuh. Aku coba habiskan makanan dengan pelan-pelan, mencoba memperhatikan orang-orang berbicara bahasa Jawa. Sebelum berangkat aku sempat berpikir untuk menginap satu hari di Yogyakarta untuk bercengkerama dan bertemu kawan lama. Betapa Yogyakarta ini kota penuh kenangan-kenangan manis. Tapi aku urungkan segera pikiran tersebut setelah mengingat kembali bahwa niatku adalah untuk menyelesaikan penelitian. Aku mengkhianati diri sendiri jika melakukan hal tersebut. Aku ulang terus menerus dalam hati.
Yogyakarta Dini Hari!

Dua puluh menit sebelum keberangkatan, aku sudah mencari-cari tempat duduk. Belajar dari pengalaman berangkat dari Bandung, karena datang mepet aku jadi tidak bisa menyimpan ransel besarku di bagasi atas. Akhirnya aku kepit di antara dua kaki dan melakukannya selama delapan jam memang sangat melelahkan. Setelah menemukan tempat duduk sesuai tiket, aku agak kecewa karena sudah ada sepasang suami istri yang sudah tua membawa banyak barang bawaan dan memenuhi bagasi atas tempat duduk. Aku terpaksa menyimpan ransel agak jauh dari tempat duduk. Agak menyebalkan karena tidak dalam jarak pengawasanku tapi lebih baik dibandingkan harus memeluk ranselku di kaki selama perjalanan. Sang Bapak memperhatikan aku yang kepayahan menaikkan ransel ke bagasi atas.

“Mana teman-temannya?” Tanyanya sebelum aku duduk dan mengatur napas.
“Saya cuma sendiri, pak.” Aku tetap berusaha mengatur napas.
“Loh kok sendiri?” Tanyanya lagi.
“Iya pak, saya sedang penelitian.” Aku mulai memaksakan tersenyum.

“Kok penelitiannya sendiri?”
“Iya, pak.” Ucapku singkat sambil mengalihkan pandangan ke luar jendela.

“Biasanya kan sama dosen. Kalau gak rame-rame gitu.”
“Iya, pak.” Aku asal senyum.
Mengapa menjadi sendiri sering kali dinilai salah ?
Aku berusaha untuk tidak kesal dengan pergi keluar gerbong. Sambil melihat penumpang lain yang mulai memenuhi gerbong, aku menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya. Berulang kali aku lakukan. Dulu aku lebih sering mengeluh dan mengritik: bagaimana seharusnya aku berlaku, bagaimana seharusnya orang tua dan keluargaku berlaku, bagaimana seharusnya orang-orang berlaku, bagaimana seharusnya satu rencana berjalan, bagaimana seharusnya dunia ini berada. Sejak kecil otakku sudah penuh dengan Das Sollen. Sekarang? Mungkin sama saja. Aku masih tukang keluh dan tukang kritik. Bedanya, kini aku simpan semuanya untuk diriku sendiri.
***
Jember, 17 Maret 2015
Bertolak dari Yogyakarta sekitar pukul sembilan pagi dan tiba di stasiun Jember sekitar pukul 7 malam. Aku berjalan kaki dan mulai mencari penginapan. Sebelumnya aku sudah browsing tentang penginapan murah di Jember. Salah satunya penginapan di ujung jalan dekat stasiun. Jangan bayangkan sebuah penginapan mewah karena harganya hanya berkisar antara empat puluh lima ribu rupiah hingga 125 ribu rupiah. Dari stasiun cukup belok kanan dan berjalan lurus kurang lebih satu kilometer. Beberapa tukang becak menawarkan tumpangan tapi aku menolaknya dengan tersenyum. Aku memesan satu kamar untuk satu hari dengan harga enam puluh ribu rupiah dengan fasilitas tambahan kamar mandi dalam, kipas angin, dan televisi. Yang terakhir sebenarnya tidak terlalu aku butuhkan, tapi kamar yang paling murah pun saat itu sedang penuh.

Kamar yang aku inapi berukuran dua meter kali empat meter. Hanya muat satu tempat tidur dan satu kursi dekat pintu kamar. Aku melempar ransel di kasur dan memeriksa kamar mandi. Kutemukan bungkus kondom yang masih basah. Aku mendadak mual. Aku bergegas menuju resepsionis untuk ganti kamar.
“Mas, saya mau ganti kamar.”

“Kenapa emangnya?”
“Kamar mandinya kotor.”

“Boleh, tapi adanya yang harga seratus lima puluh ribu.”
“Yang harganya sama gak ada?”

“Gak ada. Paling kalau mau, nanti kamarnya dibersihin dulu lima belas menit.”
“Tolong dibersihin ya mas. Kamar mandinya kotor banget.”
Aku menunggu di luar kamar sambil memperhatikan seorang lelaki tua membersihkan bawah kasur dan kamar mandi. Setelah lima belas menit berlalu, ia selesai dan pergi keluar kamar tanpa melihat ke arahku. Aku kembali masuk kamar dan mengeluarkan semua isi ransel di kasur. Aku kemudian mengambil handuk dan mengecek kembali kamar mandi. Kondom itu sudah hilang. Tapi aku masih menyusuri sudut-sudut kamar mandi yang sangat kecil itu, berharap tak menemukan benda serupa di sudut lainnya. Aku langsung mengguyur badanku walau masih merasa ragu dan jijik. Hanya satu malam. Hanya satu malam. Hanya satu malam. Aku berharap mandi bisa membuat perasaan lebih tenang dan badan lebih segar, juga mengusir bayangan kondom yang masih basah itu.
Di atas kursi dekat pintu ada sebuah televisi empat belas inch yang dikerangkeng besi. Di sebelahnya bercokol kipas angin. Aku cabut steker tv yang menempel di stop kontak listriknya dan menggantinya dengan pengisi daya ponselku. Saat aku ingin mengabari orang tua, ternyata sinyal tak sampai ke dalam kamar ini. Karena hanya ada satu kontak listrik dan aku tak membawa terminal ataupun steker listrik tambahan, aku hanya bisa memilih untuk mengisi daya ponselku semalam, kipas angin, atau tv. Setelah ponselku terisi lima belas persen, aku memutuskan jalan-jalan sambil mencari steker listrik tambahan. Ada tv dan kipas angin yang seharusnya bisa jadi teman tidur malam ini. Lagi pula jam masih menunjukkan pukul delapan. Aku tak mau berdiam lama di kamar ini.

Dengan bermodalkan map di ponsel, aku jalan kaki menuju alun-alun Jember yang saat itu masih sepi karena bukan hari-hari libur atau akhir pekan. Melewati beberapa ritel modern, aku mencoba mencari steker listrik tambahan tapi nihil. Aku terus berjalan hingga kawasan Universitas Jember. Di sana aku mencoba untuk sekali lagi masuk ke satu ritel modern untuk mencari steker listrik. Jika kali ini tak ada, ya sudah berarti memang aku tidak bisa tidur ditemani tv. Lantas ada sepercik perasaan bahagia setelah aku menemukan steker listrik tersebut.
Aku memutuskan untuk mencari makan di depan kampus Jember. Aku tahu aku tidak sedang liburan atau mencari kuliner khas sini, tapi rileks sebentar dan menikmati malam sejenak bukanlah dosa. Haven’t i told you i am good at making excuses? 

Lagi pula aku belum pernah mengunjungi Jember sebelumnya. Ketika bingung untuk makan di mana, aku melihat sebuah warung tahu petis yang sangat ramai di pinggir jalan depan gerbang kampus. Tahu petisnya pedas gurih dengan porsi yang cukup banyak. Terlebih lagi, harganya hanya enam ribu rupiah. Di belakangku banyak kumpulan mahasiswa sedang mengobrol sambil makan. Aku mendengar obrolan mereka seperti tugas kuliah, pacaran, selingkuhan, dosen, haha, hihi, dan lainnya yang aku alami saat mahasiswa. Ya akupun masih mahasiswa, tapi menjadi mahasiswa magister dengan sarjana banyak perbedaannya. Aku rindu masa kuliah. Aku rindu momen bercengkerama malam hari ngobrol ngalor ngidul tentang betapa idealisnya kami sebagai mahasiswa dan agen perubahan itu hingga siapa perempuan paling cantik di kelas. Aku rindu teman-teman.
Makan!
Aku buru-buru habiskan makanan di depanku dan beranjak pergi. Aku berjalan sambil menyebut teman-teman kuliah satu persatu-persatu. Apa yang bisa aku ingat dari mereka. Apa yang bisa aku ingat tentang aku dari mereka. Ternyata cukup menyenangkan. Hehe. Aku kemudian berhenti di alun-alun Jember. Beberapa orang sedang berkumpul. Melihat mereka aku kembali teringat lima tahun lalu, aku sering melakukan backpacking bersama teman-teman, jalan ke sana ke mari secara rutin. Aku tahu betapa mengasyikannya perjalanan bersama mereka. Kini perjalanan masing-masing kami adalah sendiri. Aku tak tahu apa mereka juga merasa apa yang aku rasa. Aku duduk cukup lama.
Jember Malam Hari!
***
Pukul sepuluh aku kembali berjalan ke penginapan. Aku buka pintu kamar dan memandang ke kamar sempit yang sesaat tampak menyedihkan. Kamar ini menjadi menyesakkan. Aku pasang steker tambahan, kabel tv, kabel kipas angin, dan pengisi daya aku colokan. Aku nyalakan tv, entah apa programnya aku tidak peduli. Aku setel mode sleep. Aku matikan lampu. Aku terobos kasur yang dipenuhi barang-barang dari ransel dan meringkuk menghadap tembok. Aku buat diriku senyaman mungkin dan berusaha tidur tanpa menangis.

Comments

  1. ((Kondom basah?))

    Bersambungnya g asyik nih. Padahal aku nunggu kamu nebeng truk. Caranya gimana sih? Ngomong ke Bapak sopirnya gimana? Nyegat di jalan-jalan gitu ya? Truk macam apa yg sebaiknya dimintai tebengan?

    ReplyDelete
  2. Hitchhike truk? Tinggal berani aja Ki. Biasanya potensi kita bakal keluar kalau kepepet. Makanya harus kepepet dulu. Hehe. Tinggal berdiri di pinggir jalan aja, terus julurkan tangan dengan aman. Setelah ada truk yang mau berhenti, kita tanya sopirnya apa dia lewat rute tujuan kita. Yang pasti kita harus tetep waspada sama sekeliling kita.

    ReplyDelete

Post a Comment