Ngabuburit: Bertualang di Manglayang




1
Foto di atas sekilas seperti dalam keadaan senang dan mudah: 1818 mdpl doang. Tapi memang menyenangkan sih. Foto tersebut diambil Jumat lalu saat saya bersama dua orang teman – Tedi dan Dimas – pergi berkemah ke Gunung Manglayang. Rencana untuk pergi berkemah sudah menjadi wacana sejak bulan lalu namun belum terealisasi karena tak kunjung menemukan tempat yang cocok. Awalnya Prau menjadi pilihan pertama namun gagal setelah mengecek jadwal kerja kami yang hanya cocok dengan dua hari libur. Setelah memilih dan memilah, kami memutuskan mencari lokasi yang strategis dan mudah diakses di sekitar Bandung. Jadilah Gunung Manglayang yang lumayan dekat dari kota Bandung. Gunung Manglayang sendiri bisa diakses dari Bumi Perkemahan Batu Kuda di Cibiru dan Bumi Perkemahan Kiarapayung lewat desa Barubereum. Kami memilih lewat Kiara Payung karena memang lebih familiar. Selain itu saat masa awal mahasiswa, saya pernah berkegiatan di Kiarapayung (dan juga Manglayang sepertinya). Jadi masih ada bayangan samar. Termasuk bayangan bahwa Gunung Manglayang memiliki karakter seperti bumi perkemahan Kiara Payung. Mudah didaki.



Sebelum berangkat kami meyakinkan diri bahwa kami sedang berpuasa dan tidak ada alasan batal hanya dengan alasan haus atau lapar. Tapi berpuasa tidak menjadi alasan untuk tidur sepanjang hari. Sudah lama kami tidak berkemah. Kami juga tidak berniat untuk menguji nyali atau menantang kondisi kami saat berpuasa dengan naik gunung. Niat kami adalah tadabbur alam seperti yang sering kami lakukan. Sementara alasan pribadi saya, kontemplasi dan ibadah tidak selalu harus dalam bangunan kokoh, terlebih di bulan Ramadan ini. Akurlah kami untuk pergi mendaki pukul lima sore yang kurang dari sejam pun sudah bisa berbuka puasa.

Jumat itu saya harus kerja dulu sampai pukul empat dan langsung tancap gas menuju Jatinangor. Jalanan cukup padat di kedua arah karena menjelang waktu berbuka puasa. Saya tiba di depan gerbang Unpad pukul lima sore. Kedua teman saya datang telat dan saya putuskan untuk buka puasa di mesjid depan kampus. Sekitar pukul enam sore mereka datang. Kami cek ulang barang bawaan kami. Dimas baru sadar bahwa tabung gas yang ia bawa hanya terisi setengah. Karena takut kehabisan, kami singgah dulu ke supermarket untuk membeli gas tabung portabel. Setelah yakin tidak ada yang kurang, kami mulai perjalanan. Menggunakan motor, jarak dari gerbang Unpad menuju desa Sindangsari sekitar dua puluh menit. Karena kami pergi malam hari, cukup sulit untuk melihat jalan menuju kaki Manglayang karena terdapat banyak beberapa cabang jalan.

Setelah melewati gerbang Unpad dan gerbang bumi perkemahan Kiarapayung, kami terus mengambil satu jalan hingga menyempit dan hanya cukup sebagai jalan masuk satu motor. Sepertinya jalan yang kami lalui adalah jalan khusus warga untuk masuk dan keluar bumi perkemahan. Kami terus mengikuti jalan menanjak hingga ada percabangan. Ambil kanan dan lurus terus hingga kami bertemu gerbang pagar besi dengan warung-warung sebelah kanan. Di sini rantai motor yang saya tumpangi lepas. Padahal jalanan masih bagus untuk dilewati. Sebelumnya juga lancar saja. Perjalanan pasti selalu memiliki kerikil dan bebatuan. Beruntung saya tidak sedang sendiri.

Setelah lewati gerbang besi, kami mengambil jalan ke kanan dan terus mengikuti jalan utama yang berujung pada pertigaan jalan. Satu turunan ke kanan, satu tanjakan ke depan, dan satu tanjakan ke kiri. Kami mengambil tanjakan ke kiri yang terlihart dengan Gapura Desa Sindangsari. Trivia, Sindangsari dalam bahasa Sunda adalah singgah (sindang) dan asri (sari) yang berarti tempat persinggahan yang asri atau menarik. Tak jauh dari gapura desa, kami menemukan rumah Paniisan tempat menyimpan motor atau istirahat. Rumah ini memiliki kolam ikan di tengahnya dan dilengkapi dengan kamar atau vila yang bisa disewa juga warung yang menyediakan makanan dan minuman. Rumah ini pula yang membatasi jalanan bagus dengan jalanan batuan yang sulit dilewati roda dua dan empat menuju gerbang jalur pendakian Barubereum. Pada hari biasa, kami akan memilih untuk menitipkan motor di warung si Emak. Tapi berhubung pada bulan Ramadan warung dan tempat penitipan motor tersebut tutup, kami mau tidak mau harus menitipkan motor di rumah Paniisan. Terlebih motor saya dalam kondisi yang tidak prima. Kami berkenalan dengan yang punya rumah, Pak Ade, yang ramah dan membantu. Sebelum berangkat kami pastikan lagi kelengkapan kebutuhan kami, terutama air minum karena tak ada sumber air di sepanjang jalur.

Hujan mulai turun dengan cukup deras dan kami pun langsung mengenakan jas hujan masing-masing. Tiba-tiba saya tersadar. Biasanya saat begini saya membawa perlengkapan masak sendiri tapi kali ini hanya Dimas yang bawa. Saya tanya Dimas apa dia bawa korek api atau pemantik. Jawabannya tidak keduanya. Tedi pun tidak membawa. Kami coba beli korek api atau pemantik di warung pak Ade tapi sudah kehabisan. Pak Ade memberikan korek api miliknya yang hanya tersisa lima potong. Tentu saja tak cukup. Saya mengusulkan untuk membeli korek api di warung dekat gapura desa. Kami pun pergi cari korek api sekalian pamit pada Pak Ade. Warung sebelum rumah Paniisan ternyata sudah tutup. Tapi karena tak mungkin hanya membawa lima potong korek api pada saat hujan begini, saya nekad untuk mengetuk warung yang menyatu dengan rumah itu. Ternyata penghuninya belum pada istirahat dan mereka menanggapi kami dengan ramah. Kami membeli dua kotak korek api, satu saya bawa dan satu lagi Dimas bawa. Di sinilah koordinasi sangat dibutuhkan. Seberapa sering kita bepergian bersama, lupa atau alpa adalah manusiawi. Saling mengingatkan menjadi satu tanda kepedulian terhadap satu sama lain.  Ini yang saya suka dari kemping atau melancong bersama teman-teman. Ada ikatan senasib dan sepenanggungan. Karena itu, pembagian tugas harus ditaati masing-masing.

Setelah memastikan tak ada yang tertinggal, pukul delapan malam kami menuju Pos 1 yang sebenarnya bisa ditempuh menggunakan kendaraan pada hari-hari biasa. Kami sudah memasang lampu kepala. Dan yang bisa saya lihat selain kegelapan adalah jalanan bebatuan, jarum-jarum hujan menghunjam tanah, dan pepohonan atau rerumputan yang bergoyang-goyang. Tiga puluh menit kemudian kami sampai gerbang Barubereum dengan banyak warung yang sudah tutup di kiri dan kanan. Beristirahat hingga hujan sedikit lunak, hanya meninggalkan gigil dinginnya. Mungkin karena Ramadan dan tutup, tidak ada petigas yang memungut tiket masuk.

2

Dimas, Saya, Tedi
Dari pos pendakian, kami mengikuti jalan setapak hingga akhirnya bercabang dua: menyisir sungai atau naik ke bukit. Kami mengambil jalan langsung naik dengan posisi Dimas paling depan, saya di tengah, dan Tedi di belakang. Dari apa yang kami baca di internet, jarak tempuh dari Pos 1 hingga puncak bayangan adalah 2 atau 3 jam untuk yang terbiasa, dan bisa hingga 4 atau 5 jam bagi pemula. Juga tak pos yang jelas sebagai tanda. Setelah satu jam berjalan, kami sampai pada percabangan tiga jalan. Karena tak tahu jalan, kami memutuskan ambil kiri yang ternyata berujung pada lokasi penyadapan getah karet. Kami putar balik dan ambil jalan kanan. Kami terus berjalan melipir ke kanan hingga jalur pendakian menjadi semakin sempit. Tanah basah yang labil ditambah hujan yang kembali deras membuat pijakan kami semakin licin. Selain itu, ditutupi vegetasi lebat dan salah satunya tanaman tajam dan menyengat seperti Pulus (Laportea stimulans, syn. Dendrocnide stimulans syn. Urtica stimulans) yang membuat tangan kami kesakitan.

Kami terus berjalan hingga hampir pukul dua belas malam dan melihat tidak ada clearing atau bukaan yang menunjukan mendekati puncak. Malah kami terus masuk ke hutan dan pada satu titik, kami menemukan jalan buntu kecuali melintas ke gunung yang ada di seberang mata kami. Kami bingung bukan kepalang: mengapa puncak gunung yang kami daki pindah ke seberang mata kami. Kemungkinannya hanya satu: kami salah jalan. Saya sudah beberapa kali bilang bahwa jika jalurnya sulit untuk dilewati pasti bukanlah jalur yang betul. Namun pada saat seperti ini, karena kami tidak tahu  jalur, biasanya kami hanya berpatokan pada clearing (bukaan langit), sampah yang berserakan, dan jalur terbuka. Saya bisa lihat dari wajah Dimas dan Tedi, kalau kami lanjut menyebrang ke gunung yang ada di depan, pasti akan memakan banyak waktu lagi. Sambil istirahat, kami berdiskusi jalur mana yang akan ditempuh.

Saya sempat berkata, “Lihat, ini ada botol air mineral bekas tapi sepertinya sudah lama.”

Tedi melirik ke arah saya tapi dia tidak melihat ke arah botol yang saya tunjuk, malah ke arah lain. 

Tak tahu apa.

Kami putuskan untuk balik lagi ke arah jalur terbuka terakhir. Kami tidak mengira pendakian di Gunung Manglayang akan sesulit ini. Kami tidak mengira akan hujan besar. Kami tidak mengira medan menjadi sangat licin. Tubuh kami bertiga sudah lelah. Terbukti dengan beberapa kali kami tersandung dan terjatuh. Bahkan saat memutar balik dari jalur buntu, Dimas hampir saja masuk jurang. Kakinya melangkah ke tanah labil yang longsor dan ia tak bisa meraih apapun untuk dipegang ataupun menjejak tanah. Dengan cepat, saya mengambil tangan Dimas. Tedi kemudian membantu mengangkat Dimas. Kami istirahat sejenak dan membiarkan suara binatang-binatang malam mengisi napas kami yang terengah-engah. Saya yakin pada saat itu tak ada satupun yang mengira pendakian malam hari akan seberbahaya ini. Tak tahu mengapa, saya berkilas balik pada tahun 2012, saat teman kuliah saya Rizky mengajak saya untuk kemping di gunung Manglayang. Saat itu saya tertawa karena menganggap Manglayang adalah Kiarapayung. Bodohnya saya.

Setelah tenang, kami mencoba berjalan kembali ke jalur yang kami kenal dan mengambil jalur atas. Karena satu-satunya untuk mencapai puncak adalah langsung mendaki. Namun tidak semudah yang kami perkirakan. Saya pikir, jalur yang membuat kami tersesat tadi adalah yang terberat. I was wrong, the worst had not come yet. Lampu kepala Dimas mati kehabisan daya. Kami bertukar posisi: Tedi di depan, Dimas di tengah, saya di belakang. Jadi langkah Dimas tetap terang depan dan belakang. Agak sulit berjalan dengan formasi seperti ini di tengah hujan deras. Dimas harus tetap bisa melihat apa yang ia jejak, saya dan Tedi tidak boleh terlalu jauh dari jarak pandang Dimas. Untuk medan yang sulit, Tedi berinisiatif untuk maju terlebih dahulu. Bila aman, Dimas dan saya mengikuti.

Awalnya pendakian itu terbantu dengan kehadiran batuan atau akar-akar yang bisa digenggam atau dijejak. Namun semakin tinggi kami mendaki, batuan dan akar tersebut hilang dibungkus tanah licin. Ada satu spot dengan kemiringan kurang lebih 60 derajat membuat saya tidak bisa maju karena batu yang dijejak Dimas sudah jatuh. Saya tertahan karena tiap saya melangkah, saya hampir terjatuh karena tanah yang benar-benar licin. Untungnya saya tertahan pohon di belakang saya. Satu-satunya jalan adalah pindah ke jalur kanan. Masalahnya, tak ada batu atau akar yang dapat digenggap untuk menyebrang. Satu-satunya jalan adalah dengan loncat dari bawah pohon yang saya diami ke pohon di sebelahnya. Dalam kondisi normal, hal itu bukan masalah. Tapi saya membawa carrier 60 L di punggung saya. Bagaimana jika saya malah terjatuh atau terpeleset, pasti akan terperosok jauh ke bawah. Dimas dan Tedi sudah menunggu saya di atas tapi mereka tetap meminta saya untuk santai. Saya memberanikan diri untuk loncat dan memeluk pohon itu dan tak melepasnya seakan jodoh saya. Saya bernapas lega karena berhasil tidak jatuh. Kami pun melanjutkan perjalanan.

Pukul satu pagi kami masih mendaki dan segera beristirahat. Perut sedari tadi sudah keroncongan. Kami belum makan besar, hanya baru menyantap tajil. Dan sedari tadi tak ada yang mau mengeluarkan makanan karena memang posisinya yang sulit dijangkau di dalam carrier atau memang sudah tak ada tenaga untuk bongkar muat carrier di tengah hujan. Kami memang butuh sesuatu untuk dimakan dan saya keluarkan keripik kentang untuk dicamil. Kami sempat ngobrol bahwa jalur Cikuray tidak sesulit ini. Pasti karena kami mendaki malam hari di saat cuaca hujan tanpa tahu jalur pendakian yang sebenarnya.


Jalur yang kami lewati (1)


Setelah kembali berjalan cukup lama, pikiran saya mulai meloncat-loncat liar. Kadang saya sempat melamun beberapa detik sambil berjalan dan kembali tersadar karena tersandung batuan atau tergelincir. Konsentrasi dan koordinasi tubuh dan pikiran semakin berkurang drastis. Ilusi optikal juga bermain dalam pikiran saya. Melihat ini dari kejauhan yang ternyata setelah didekati hanyalah itu. Di saat seperti itu, Tedi melihat tanda Pos 4 ditempel di tanah di bawah pohon. Kami kembali bersemangat karena itu artinya puncak bayangan sudah dekat. Namun sejam berjalan ternyata kami tak kunjung tiba di puncak bayangan. Kami hanya melewat sebuah tanah datar yang cukup dijadikan tempat satu tenda. Di beberapa pohon sekitar tempat itu juga ada tali rafia bekas mendirikan tenda. Tedi dan Dimas berulang kali mengecek altimeter mereka untuk memastikan puncak bayangan yang berada di ketinggian 1600 meter dan puncak utama berada di ketinggian 1800 meter. Kami lewati tanah terbuka tersebut dan terus jalan untuk memastikan. Tapi ujung jalur masih tidak terlihat, kami pun menyerah dan mendirikan tenda di tempat yang tadi kami lewati.

Pukul tiga subuh kami mulai mendirikan tenda. Rasa lapar, dingin, dan sakit akibat luka di tangan dan kaki semakin nyata. Kami membagi tugas dengan buru-buru untuk memasukan barang ke dalam tenda dan memasak untuk sahur. Tak lupa kami juga bergantian solat isya. Kami masih bisa memasak pempek, nasi goreng, bratwurst, dan juga membuka cemilan manis lainnya. Berkejaran dengan waktu imsak, kami makan dengan cepat dan banyak minum sebagai tenaga nanti turun gunung. Saya masukan apapun yang bisa saya masukan dan minum air mineral sebanyak-banyaknya. Sambil menunggu matahari terbit, kami solat subuh di dalam tenda karena hujan tak mau berhenti dari semalam.
Tenang, lebih nyeri sakit hati

Suara tetesan hujan yang tak kunjung reda beradu dengan suara binatang-binatang malam. Samar-samar terdengar khotbah subuh. Saya sudah telentang bersembunyi di dalam sleeping bag dengan perut kenyang tak karuan, rasa sakit nyut-nyutan, dan hangat minyak kayu putih yang dibalur di tubuh saya. Saya tak henti mengucap syukur. La reconnaissance est la mémoire du cœur.

Berulang kali saya terbangun pagi-pagi hanya untuk mendapati hujan masih turun dan kabut masih tebal. Saya kubur niat untuk melihat matahari terbit. Dengan cuaca seperti ini tak mungkin untuk mengejar matahari terbit. Saat matahari hampir di atas kepala, kami terbangun. Jam tangan sudah menunjukan pukul 11.30. Hujan juga sudah berhenti. Kami bergegas bangun dan beranjak mengunci tenda. Kami buru-buru mencari puncak yang sudah kami rindukan sejak semalaman. Tak lebih dari lima belas menit, jalur kami menyatu dengan jalur di sebelah kiri kami. Jalur tersebut ternyata mengarah ke puncak utama. Biasanya, mereka yang mendaki Gunung Manglayang akan menjumpai puncak bayangan terlebih dahulu baru puncak utama. Puncak utama ini sebenarnya kurang populer dibandingkan puncak bayangan karena hanya dikelilingi oleh pepohonan. Di sini juga ada makam karomah.

 
Makam Karomah

Dari puncak utama, kami kembali lewat jalur sebelah kiri yang tadi kami temui. Pikir kami, pasti jalur tersebut adalah jalur dari arah puncak bayangan. We had been dying to see the view from there. Jalur menuju puncak bayangan ini ternyata tetap tidak mudah walaupun jalurnya menurun dari puncak utama. Pekerjaan rumah yang menanti setelah menemukan puncak bayangan adalah kembali ke tempat kami kemah. Sekitar sepuluh menit dari percabangan jalan tadi, kami mulai menemukan awan dan kabut yang mengitari pegunungan. Dari kejauhan sudah terlihat puncak bayangan yang biasa dipakai sebagai spot foto. Tak jauh dari puncak bayangan, ada satu tenda dengan empat orang penghuni. Memang di puncak bayangan ini ada beberapa titik datar yang bisa digunakan untuk kemah. Tapi hanya cukup untuk tiga atau empat saja barangkali.

Kami segera menyapa mereka. Satu di antara mereka mengaku sudah sering berkemah di Manglayang. Katanya, jalur yang kami tempuh semalam adalah jalur baru dengan tanda pos yang juga baru dipasang. Kami sudah tak mau ambil pusing dan langsung melihat pemandangan dari puncak bayangan.
Merinding (1)
 
Merinding (2)

3
Pukul tiga sore kami membongkar tenda dan turun gunung. Kabut sudah mulai mengurangi jarak pandang kami. Saya segera menyiapkan lampu kepala. Saat siang atau sore hari, barulah kami tahu kontur tanah dan medan seperti apa yang kami lewati semalam. Dan lagi-lagi perjalanan turun ini tidak semudah yang saya bayangkan walaupun memang tidak sesulit pendakian. Hal ini disebabkan tanah licin sehabis hujan yang membuat kami tergelincir bergantian dan bahkan berbarengan. Karena tak ada jalan lain kami pun maju sambil serodotan di tanah. Asyik. Saking asyiknya, celana hujan saya sobek luar biasa.
Baru sadar sobek setelah tiba di Paniisan

Jalur yang kami lalui (2)


Ngabuburit di Manglayang ini sangat berkesan bagi saya pribadi. Ada satu momen saya jatuh tersungkur seperti superman. Tanah masuk ke mata dan lutut terbentur batuan. Saya malas berdiri dan sejenak menikmati momen tersebut. Kami juga sempat ngobrol dengan Pak Ade seputar semalam kami nyasar selama dua jam. Kata Pak Ade, jalur yang kami susuri adalah jalur baru dan dan jarang dilewati sementara jalur yang membuat kami tersesat adalah jalur menuju curug dan tempat pamentaan. Itulah juga yang dilihat Tedi pada saat saya menunjuk botol mineral. Tedi melihat batu-batu yang disusun sebagai tempat duduk. Saya juga bingung mendengarnya.

Tak lupa, kami juga memfoto pos-pos yang kami telusuri saat pulang agar bisa mengurangi kebingungan orang-orang yang ingin mendaki Manglayang. Pukul lima lewat sedikit kami berhasil kembali di rumah Paniisan. Sambil menunggu berbuka puasa, kami membersihkan luka-luka bekas semalam.

Pos 4

Pos 3


Pos 1

Comments