Catatan Perjalanan Tesis II

I have a serious procrastination issue. I’ve been delaying, or maybe stopped, my supposed to be a blog posts series entitled #CatatanPerjalananTesis and #TersesatdiParis for ages. I was supposed to post them in 2015 but two years later I am still here regretting myself. But now I am conceiving this urge to finish them one by one. So, here I am rereading my journal entries again, attempting to seal a particular flashback. Miserably crafting a closure for these posts, and hopefully other things in life. Wish me luck.






*********** 

Jember 18 Maret 2015

Pukul delapan pagi aku sudah siap keluar dari penginapan. Aku sengaja bangun lebih awal untuk pergi ke kantor Taman Nasional Meru Betiri sehingga bisa mengurus SIMAKSI (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi) dan presentasi di depan staf yang mengurus penelitian tentang REDD+. Aku sudah mengamati google map dari penginapan hingga ke kantor taman nasional yang ternyata cukup jauh, 8 hingga 9 kilometer dari penginapan. Aku putuskan naik becak dan deal lima puluh ribu rupiah karena jaraknya yang jauh.  Beberapa kali ada jalanan yang menanjak dan saat aku mau turun, pengayuh becak mencegahku dengan agak bengis. Mungkin karena aku adalah pelanggan, dan dia adalah pekerja. Akhirnya aku tetap duduk di becak dengan sedikit perasaan bersalah untuk menghormati profesinya. Bagi sebagian orang, profesi apapun yang ia jalani secara halal adalah harga dirinya.

Butuh waktu kurang lebih satu jam untuk mencapai kantor itu dengan jalanan Jember yang tidak terlalu ramai. Setibanya di kantor, pengayuh becak memintaku memberikan ongkos tambahan karena lokasinya yang cukup jauh dan jalanannya yang menanjak. Aku beri seadanya.

Dari dekat, bangunan kantor taman nasional ini sangat asri dan sederhana. Aku langsung kepincut ingin kerja di sini. Berlatarkan gunung entah apa namanya dan jalanan yang sangat sempit. Halamannya penuh dengan batu kerikil. Aku perlahan masuk ke resepsionis dan meminta dipertemukan dengan staf yang selama ini aku kontak untuk penelitian. Aku diminta menunggu hingga siang. Selama menunggu aku juga mengisi formulir pendaftaran SIMAKSI. Aku lampirkan fotokopi KTP, surat keterangan kampus, dan foto. Biasanya ada biaya pembuatan SIMAKSI, tapi aku dapat gratis karena untuk keperluan riset. Hanya ada biaya materai saja. Simaksi yang aku terima valid untuk tiga bulan dan bisa diperpanjang lagi jika dibutuhkan. Dan untungnya dengan simaksi penelitian, aku pun bebas dari biaya tiket dan retribusi lainnya. Aku disuruh menunggu lagi.

Aku memutuskan untuk jalan-jalan di sekitar kantor sambil mencari makan.  Tas 60 liter aku titipkan di sudut ruang tamu. Tak jauh dari kantor, ada sebuah masjid dengan warung kecil di pinggirnya. Aku beli mie ayam seharga lima  ribu rupiah. Porsi yang mengenyangkan dan harga yang menenangkan. Aku memang punya harapan bisa tinggal di Jawa (Tengah atau Timur). Setelah itu aku tidur-tiduran di masjid menjelang siang.

Setelah jam istirahat kantor selesai aku balik ke kantor. Resepsionis yang menerimaku bilang bahwa orang yang aku kontak belum juga datang. Jadi aku diminta untuk presentasi penelitianku terlebih dahulu. Aku berniat meminjam laptop atau komputer untuk keperluan presentasi, namun staf yang aku mintai tolong enggan memberikannya.

“Bu, saya boleh minjam laptop untuk presentasi rencana riset saya? Saya gak bawa laptop. Gak muat di tas saya.” Aku memohon sambil menunjukannya tasku yang menyender di sudut ruangan.

Sayangya dia tidak terbujuk, “Wah kalau itu gak bisa mas. Harus ada surat peminjaman dulu.”
Aku terdiam beberapa detik dengan wajah memelas. Siapa tahu dia berubah pikiran. Ternyata tidak,

“Yowes gak apa-apa bu. Saya sudah mempersiapkan materi cetak presentasi saya.” Ucapku sambil berjalan ke arah tasku.

Aku memang sudah siapkan sebundel kertas berisi materi print-out rencana penelitianku. Presentasi aku lakukan di perpustakaan kantor yang tak terlalu besar. Presentasiku dihadiri lima orang. Kepala bidang, dan empat orang staf. Setelah panjang lebar menjelaskan, aku diminta menjawab pertanyaan yang diajukan. Hanya ada satu pertanyaan dan itupun dari kepala bidang
.
“Kamu kan ambil jurusan lingkungan, kenapa presentasinya pakai kertas? Kan malah buang-buang kertas.”

Dari banyak pertanyaan yang mungkin diajukan, aku agak bingung kenapa pertanyaan itu yang 
keluar dari mulut si Bapak.

“Soalnya saya gak bawa laptop. Dan tadi katanya kalau mau pinjem laptop di sini, urusannya agak ribet.”

Si Bapak menatap si Ibu dan Ibu itu diam sambil tersenyum kikuk.

“Kami di sini cuma bisa bantu perizinan, data, dan doa. Semoga penelitian nanti berhasil dan bermanfaat.”

Aku hanya bisa mengucapkan terima kasih.

Sampai sore dan para pegawai sudah pulang, aku masih menunggu staf yang akan mengajakku ke Taman Nasional Meru Betiri. Setelah aku hubungi sekian kalinya, staf tersebut baru memberi tahu untuk datang kembali esok hari. Aku menghela napas panjang sambil melihat ke arah tasku yang besar. Aku gendong kembali tasku sambil bergegas keluar. Tak satupun becak maupun ojeg motor terlihat.

Saat ada bapak yang bergegas pulang, aku segera bertanya.
“Pak, permisi mau tanya. Kalau pangkalan becak atau ojeg yang paling dekat di sini sebelah mana ya?”
“Wah agak jauh. Memangnya ada apa?”
“Tadinya saya mau ke lokasi penelitian saya hari ini tapi ternyata stafnya baru bilang besok. Saya mau cari penginapan lagi.”
“Saya antar saja. Kasihan. Sudah sore juga.”
“Wah gak apa-apa, pak? Terima kasih banyak pak.”

Bapak satu ini mengantarku dengan bebek lamanya. Di tengah jalan, dia bercerita sudah dua puluh tahun bekerja sebagai PNS di kantor tersebut. Akupun bercerita tentang perjalananku dari Bandung hingga tesis ini yang harus aku selesaikan. Dalam perjalanan mencari hotel, aku meminta untuk mampir ke ATM. Bapak ini berkata, “Gimana kalau nginap di rumah bapak saja? Besok subuh kita pergi ke kantor bareng. Kalau gak suka tinggal di rumah bapak, nanti langsung cari hotel saja.”

Aku percaya bahwa doa orang yang menyayangi kita bisa terwujud dalam bentuk kebaikan-kebaikan manusia dan alam tapi kebaikan Bapak ini memang di luar batas wajar.

Jember 19 Maret 2015
Sebelum berangkat ke kantor, Bapak ini membangunkanku untuk salat subuh. Semalam aku jadinya tidur di rumah Bapak ini. Aku tidur di ruangan yang sempat ia jadikan warung kelontong untuk usahanya. Dia bercerita banyak hal sambil menyodorkan kopi dan kacang. Aku jadi ingat bapakku yang memang doyan ngobrol. Bapakku bisa ngobrol dengan orang asing hingga lima jam. Tentunya lebih ke arah monolog, bukan obrolan. Bapak ini bercerita entang anak-anaknya yang ia pesantrenkan dengan alasan, “Yah kalau bapaknya tidak bisa baca Al-quran, minimal anak-anaknya bisa.” Ucapnya sambil tersenyum. Aku juga bercerita masa kecilku yang tinggal di lingkungan madrasah.

Ia pun lanjut bercerita bahwa istrinya tinggal dan bekerja di Malang jadi mereka hanya bisa bertemu satu bulan sekali. Bahwa kalau memang sudah sayang, jarak tidak jadi masalah.

Malah malam itu, Bapak ini sempat mengajakku keluar rumah naik motor sambil makan soto yang enak sekali. Sungguh tak tahu diri jika bukan aku yang membayar. Ia juga selalu mengajakku solat berjamaah. Termasuk membangunkanku untuk salat subuh. Aku awalnya malas karena capek sekali. Tapi masjidnya hanya beberapa langkah dari rumahnya. Setelah salat subuh si Bapak ini memintaku untuk jalan-jalan sendiri melihat pasar dadakan dan memutar komplek rumahnya, termasuk melihat rumah angker yang sempat ia  juga ceritakan semalam.

Setelah jalan pagi, kami bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Aku diperkenalkan dengan staf yang akan membawaku ke pos masuk taman nasional. Sebelum berangkat aku mengucap terima kasih kepada si Bapak ini yang sangat baik hati. Dan berdoa semoga satu saat kelak, aku bisa bertemu kembali dan membalas kebaikannya dengan pantas.

Jember – Banyuwangi , Maret – Juni 2015
Bagian ini bukan menulis ulang dari jurnal karena ada entri (baca: curhatan) yang panjang sekali dan bakal bikin ngantuk serta bosan yang akan aku coba rangkum. Perjalanan tesis ini merupakan perjalanan panjang, melelahkan, tapi tetap disyukuri sejauh aku hidup. Aku bertemu dengan kepala desa yang ternyata satu kampung halaman dengan aku. Aku pernah mendirikan tenda di pantai Bandealit sendirian sampai dipanggil polisi hutan dan disuruh tinggal di pos terbengkalai yang tak kalah seram. Aku pernah diajak nelayan ke laut dan makan ikan bakar tangkapan langsung dari laut dan it was real good. Ada kalanya aku jalan 8 jam sehari dari satu titik lokasi penelitian ke titik lainnya. Capek dan sering mengutuki diri sendiri yang terlalu idealis atau cenderung tidak realistis sudah jadi kebiasaan ku sebelum tidur. Aku juga melihat bunga Raflesia Arnoldi liar dan merasa tersentuh dengan kecantikannya. Aku juga melihat potret komunitas lokal yang tidak diuntungkan secara signifikan oleh kebijakan internasional yang entah kenapa dulu hanya aku pelajari secara teoritis dari buku saja. Aku merasakan menjadi bagian rakyat kecil yang saat malam harus berjalan di gelapnya malam dengan penerangan lilin dan cahaya bulan. Aku merasakan tidur di rumah yang beralaskan tanah basah. Kala hujan besar aku berteduh di gubug warga yang bercerita tentang anaknya yang menjadi TKI selama dua puluh tahun dan tidak kembali. Pantatku pernah disiksa secara sadis saat malam hari menunggangi motor trail di jalanan yang batunya sebesar kepala orang dengan catatan: jangan melihat ke pohon tinggi kalau gak mau lihat kunti.

Aku mendengar harapan komunitas lokal yang sudah jengah dengan penebangan liar. Aku mendengar gergaji mesin mengiris pohon-pohon pada malam hari saat semua dengkur bisa terdengar. Aku belajar merasakan mereka menelan pil pahit. Belajar menahan air mata dan melepas tawa. Aku belajar dari mereka untuk bersyukur. Sepahit apapun hidup ini. Untuk potret komunitas lokal ini, aku akan menulisnya secara terpisah.

Aku sadar aku bertemu banyak sekali orang baik. Juga orang tidak baik. Di hari terakhir aku di taman nasional, staf yang ternyata dari Cianjur dan tinggal bersama keluarganya di Jember ini mengizinkan aku menginap di rumahnya tiga hari sambil menunggu kepulanganku ke Bandung. Aku merasa welcomed. Di hari terakhir, tasku yang tingginya setengah badan itu hampir dicuri copet di terminal Jember. 

Beberapa bentuk narsisme:






Agustus 2015 – Juli 2017
Setelah berkonsultasi dan merevisi tesis, aku bisa maju sidang pada bulan Juli akhir 2015. Aku lulus dengan gelar Magister Ilmu Lingkungan dari Unpad dan diwisuda pada bulan Agustus 2015. Sementara bulan Desember tahun lalu ijazah Master of Science dari Universiteit Twente berhasil mendarat di tanganku saat ada di Sydney. Ada kemungkinan untuk ikut wisuda kelulusan di Enschede, tapi aku memilih tidak ikut. Sejenak maupun lama aku pikirkan, ini adalah berkah tak terhingga dari Tuhan. Bisa mendapatkan gelar ganda dengan beasiswa walau kepayahan karena waktu yang molor dan kerjaan di luar kampus yang cukup banyak. Mungkin terdengar seperti alasan, tapi aku berusaha untuk merasionalisasi jalan cerita hidup ini.

Karena itu aku ucapkan banyak sekali terima kasih kepada Tuhan dan isi semesta, termasuk keluarga, teman, dan orang-orang asing yang pernah berpapasan sekilas dalam hidupku karena hutang ini pun bisa terbayarkan. Ada harapan yang diam-diam dosen pembimbing dan penguji sampaikan kepadaku, yaitu agar ilmu yang didapatkan ini bisa bermanfaat untuk diri sendiri dan orang banyak. Karena beasiswa ini adalah utang kepada orang banyak yang telah secara tidak langsung membiayai aku hingga lulus. 

Saat ini aku kembali meneruskan perjalanan baru di negeri Kanguru yang mungkin tidak kalah panjang, melelahkan, namun tetap bisa disyukuri.

Semoga.

Comments