Tujuh Buku Favorit

Sebagian buku hasil sana sini

Selama tahun 2017, bertepatan dengan setahun saya berkelana di Australia, saya cukup terkejut menghitung ada 97 buku yang saya bawa pulang ke Indonesia. Tidak saya sangka setahun di Australia bisa mendorong saya untuk membaca buku lebih banyak daripada saat saya tinggal di Indonesia atau bahkan saat saya di Belanda yang seharusnya hanya berkutat seputar belajar dan baca buku malah tidak produktif. Semacam eat, sleep, repeat. Mungkin karena harga buku di Australia termasuk murah dengan standar hidup di sana.


Buku yang saya kumpulkan itu tidak semua saya peroleh dari hasil jerih payah bekerja buruh. Ada juga hasil meminta, pemberian, bahkan memungut. Tidak semua buku tersebut saya baca sampai habis walaupun kebanyakan pasti sudah saya jamah. Beberapa buat saya terhenti di tengah, bahkan di awal. Beberapa saya baca hanya sekali, beberapa saya baca cepat saja. Namun, ada juga beberapa yang saya baca berulangkali dan bahkan sering saya selipkan ke dalam tas dan saya bawa ke mana pun saya melancong. Ada 18 buku yang menjadi favorit saya selama 2017, tapi saya pilih 7 yang sangat paling saya suka.


1. H is For Hawk, Helen Macdonald, 2014, 300 hal., 23 AUD, 🌝🌝🌝🌚🌚


Buku ini saya temukan bertengger di rak buku yang direkomendasikan di toko buku di Darwin. Tanpa mengetahui genre dan kontennya, saya tebus buku ini dengan 23 AUD. Saya langsung jatuh cinta pada dua puluh halaman pertama. Mungkin karena saya menyukai buku bergenre memoir. Pada halaman-halaman berikutnya saya juga ikut hanyut dalam cerita yang dibentuk Helen berdasarkan perasaan kehilangan seorang anak perempuan terhadap ayahnya yang sangat berperan penting dalam hidupnya. Buku ini menjabarkan duka mendalam yang dirasakan Helen dan kesulitannya untuk menjalani kehidupannya sehari-hari. Untuk mengatasi dukanya itu, ia terobesi memelihara seekor goshawk. Kutipan yang saya sukai:
"To train a hawk you must watch it like a hawk, and so you come to understand its moods. Then you gain the ability to predict what it will do next. This is the sixth sense of the practised animal trainer. Eventually you don't see the hawk's body language at all. You seem to feel what it feels. Notice what it notices. The hawk's apprehension becomes your own. You are exercising what the poet Keats called your chameleon quality, the ability to 'tolerate a loss of self and a loss of of rationality by trusting in the capacity to recreate oneself in another character or another environment'."
Helen membawa saya melangkah jauh ke dunia perelangan (falconry) dengan banyak mengutip referensi dan literatur tentang falconry. Saya berkenalan dengan Falcon peregrine, perbedaan hawk dan goshawk, dan bagaimana merawat seekor elangNamun begitu, salah satu yang kurang saya sukai adalah metamorfosis duka tokoh utama dibuat bertele melalui narasi panjang miskin dialog. Hal ini mungkin bisa disebut juga kesengajaan Helen yang membuat karakter sesedikit mungkin melalui isolasi karakter utama dan hanya mengelaborasi konflik internal dirinya sendiri.



2. We're All Going to Die, Leah Kaminsky, 2016, 272 hal., 28 AUD, 🌝🌝🌝🌝🌚


Inilah buku nonfiksi favorit saya. Buku ini saya beli bersamaan dengan H is For Hawk. Awalnya saya mau pilih satu saja, H is For Hawk. Namun, karena godaan buku itu sulit ditolak, akhirnya saya beli dua-duanya. Sehabis itu saya mesti puasa seminggu.

Jangan salah, buku ini tidak secerah dan semenyenangkan sampul depannya. Betul buku ini sangat menarik karena tidak mencoba meringankan kesedihan, kecemasan, atau ketakutan akan kematian ataupun kehilangan. Tanpa menggunakan kata-kata yang berbunga-bunga, buku ini mempertegas kenyataan bahwa kematian itu nyata. Senyata kehidupan sebagai sisi lain dalam sebuah koin. Senyata pertemuan dan perpisahan. Kaminsky berusaha membuat buku ini terkesan joyful dan ringan dengan menyelipkan humor yang harus saya akui kurang berefek buat saya. Buku ini sebenarnya tidak menyenangkan sama sekali. Rather than joyful, this book slaps me real hard in the face. And that's a good thing.

Kaminsky yang seorang dokter ini menceritakan tentang kematian, perpisahan, dan kesedihan, melalui sudut pandangnya saat menangani (pengalaman) pasien-pasiennya yang menghadapi kematian dan mereka yang tidak tahu bagaimana menguasai kesedihan akan kehilangan ditinggal orang terdekat. Kasus yang meliputi kanker, kegagalan melahirkan, hingga bunuh diri, ikut disinggung dalam buku ini. Bab favorit saya adalah The Censorship of Mortality. Dalam bab ini, ia mengupas bagaimana orang-orang menganggap kematian sebagai topik yang tabu. Leah menulis:

"It comes back again to this notion that we have to be extraordinarily honest and upfront with ourselves. Yes, we are going to die. No, we will most often not know the time/date/manner of our death. But why do we have to tell ourselves stories around it, to use metaphors? Is it to somehow soften the powerlessness we feel, the lack of control in order to give the narrative power back to ourselves?"

3.  Lion, Saroo Brierley, 2013, 261 hal., mungut di tempat sampah, 🌝🌝🌝🌚🌚

Buku ini saya temukan di tong sampah tempat saya bekerja. Karena masih bagus, akhirnya saya pungut. Saat memungut buku ini, yang punya ada di depan saya. Saya tanya dulu dan dia bilang silakan sambil memberi saya tips. Mungkin kasihan. Orang Australia punya banyak kebiasaan yang aneh. Bukan hanya uang, beberapa kali saya pernah dikasih tips berupa buku, wine, bahkan kartu nama.  



Saya sudah tahu alur cerita Lion dari filmnya. Saat membaca novel yang berdasarkan kisah nyata ini, kekaguman saya menjadi berlipat. Saroo menggambarkan perjalanannya sebagai memoir tanpa mencoba untuk sengaja mencari empati pembacanya. Awal cerita yang ia gambarkan sebagai anak kecil yang punya rasa penasaran besar untuk menemukan keluarga aslinya walau sudah beda dunia. Saroo menulis:
"Of all people, I should have known that life takes many unexpected twists and turns. But things can still take me completely by surprise, and though I might have become better than some at coping with new circumstances - changes of career, of location, even of fortune - emotional changes can hit me as hard as they do anyone else. Perhaps even a little harder."
Buku ini tidak memancing kesedihan, sebaliknya ada perasaan senang dan lega setelah saya selesai membaca buku ini. Buku ini sedikit menumbuhkan harapan dan optimisme. Sedikit.



4. The Secret History, Donna Tartt, 1992, 629 hal., 13 AUD, 🌝🌝🌝🌚🌚 

Perkenalan saya dengan karya Donna Tartt bermula dari novelnya yang memenangkan Pulitzer, The Goldfinch. Saya sengaja mencari buku Donna lainnya dan hanya menemukan The Secret History. Sama seperti The Goldfinch yang menyedot perhatian saya dengan 700 halaman, The Secret History membuat saya enggan meletakkan buku ini. Gaya penceritaan Donna yang padat dan panjang dengan elaborasi topik yang variatif dan kaya seperti menonton film seri yang dibukukan. The Secret History menceritakan Richard Papen yang bergabung dengan grup jenius nakal di kampusnya. Richard menikmati kehidupan remajanya sampai suatu saat terjadi kematian yang menyeret namanya. 




"Whatever else one may say about guilt, it certainly lends one diabolical powers of intention; and I spent two or three of the worst nights I had, then or ever, lying awake drunk with horrible taste of tequila in my mouth and worrying about clothing filaments, fingerprints, strands of hair." 

Saya selalu suka cara Donna menunjukan perkembangan tokoh-tokoh di buku ini. Dari yang mulai  polos berubah menjadi yang bejat. Melalui Richard, Donna membangun perjalanan transisi remaja menjadi dewasa yang kadang harus melewati masa-masa gelap. Cerita dibangun dengan apik dan sempat memanipulasi saya beberapa kali dengan perubahan karakter yang drastis. Salah satu yang saya suka (mungkin tidak disukai orang banyak) adalah buku ini banyak menonjolkan elemen pembunuhan. Halaman pertama dalam prolog saja sudah sangat berbau pembunuhan dan membuat kening mengkerut. 



5. New and Selected Poems: Vol. 1, Mary Oliver, 2004, 272 hal., 32 AUD, 🌝🌝🌝🌝🌚

Saat saya jalan luntang lantung di hutan di sekitar Wollstonecraft, Sydney, saya hampir menabrak tembok papan pengumuman komunitas setempat. I forgot bringing my glasses. Di sana saya menemukan sebuah poster sebuah puisi berjudul Wild Geese oleh Mary Oliver. Saya baca berulang kali dan memutuskan untuk mencari bukunya. Saya menemukan tiga buku kumpulan puisinya namun harganya cukup mahal. Dengan berat hati saya hanya memilih satu saja. 

Sumber gambar

Beberapa puisi-puisi Mary Oliver yang berkenaan dengan alam langsung membuat hati saya luluh. Beberapa puisi lainnya membuat saya teguh. Ada kalanya juga puisinya menyiratkan bagian diri yang rapuh. Saya suka dengan puisi Mary Oliver.

Tengok saja salah satu puisinya:


Bahkan ada puisinya tentang Jakarta,






6. The Heart is a Lonely Hunter, Carson McCullers, 2004, 368 hal., 24 AUD, 🌝🌝🌝🌝🌚




Novel ini menceritakan kehidupan John Singer, seorang bisu tuli, bersama temannya Antonapoulous yang juga bisu tuli. Selama bertahun-tahun mereka hidup bersama hingga Antonapoulous menjadi sakit jiwa dan harus dirawat yang membuat Singer harus hidup sendiri. Kesendirian ini yang menuntut Singer berteman dengan beberapa orang yang mengalami kesepiannya masing-masing, mulai dari Mick Kelly, gadis remaja tomboy yang ingin segera beranjak dewasa; Jake Blount, tukang marah yang alkoholik; Biff Brannon, pemilik restoran yang hobi mengawasi orang; dan Benedict Copeland, seorang dokter berkulit hitam. Setelah berteman dengan Singer, mereka akhirnya sering berkunjung ke kamar Singer dan bercerita tentang kehidupan mereka.

McCullers piawai dalam memainkan emosi saya dengan menggambarkan orang-orang yang bergelut dengan kesepiannya masing-masing. Every heart is a lonely hunter. Itu yang saya dapatkan ketika membaca dua bab pertama. Lagi, ia mendalami konflik internal yang sangat relatable dengan kehidupan sehari-hari. Mick Kelly, tokoh favorit saya, digambarkan dewasa sebelum waktunya karena merasa tidak cocok berada dengan gadis seusianya dan bertanggung jawab sepenuhnya saat adiknya tidak sengaja menembak anak lain dengan BB gun.

Karakter yang apa adanya dan fucked up dalam versi mereka sendiri menjadi daya tarik utama buku ini. Saya pernah berkaca-kaca membaca bab ketika Branon menceritakan tentang kesepiannya setelah ditinggal meninggal istrinya yang tidak begitu baik di mata sekelilingnya dan mendambakan Mick sebagai anaknya. 

"The way I need you is a loneliness i cant bear."

Saya tenggelam dalam pertanyaan MENGAPA saat membaca bab tiga buku ini. McCullers membuat tikungan yang sangat tak terduga menjelang epilog (menyebalkan, membuat saya gusar dan sedih bahkan putus asa tiap kali saya mengingat akhir cerita novel  ini). WHYYYYY. Perasaan kesal dan gusar yang serupa saat pertama kali selesai membaca Of Mice and Men-nya John Steinbeck. Argh kampreeeeeet. Mereka berdua punya talenta membuat pembaca, bukan menjadi tokoh utama, tapi menjadi teman tokoh-tokoh tersebut. Setidaknya itu yang saya rasa. Saya berjalan di dalam cerita tiap tokoh dan mendukung dan beremosi terhadap pertumbuhkembangan mereka. Dan saat saya sudah berempati terhadap tokoh tersebut, pengarang dengan jenaka melakukan sesuatu terhadap teman saya, maksud saya tokoh tersebut.

Novel ini bagus, sangat bagus. Saya membacanya berulang kali.




7. Essays and Aphorism, Arthur Schopenhaure, 1973, 240 hal., 43 AUD 🌝🌝🌝🌝🌚



Schopenhaure menjadi filsuf kesukaan saya sejak saya mendapatkan tugas tambahan kuliah untuk menelaah pemikirannya dalam The Wisdom of Life & The Art of Being Right. Jadi saat saya melihat salah satu bukunya mejeng di toko buku di daerah Glebe yang terkenal dengan toko buku, kedai kopi, dan komunitas literaturnya, saya tanpa ragu langsung bawa ke kasir. Walau saat di kasir saya agak sedih juga luput memeriksa harganya, yaitu 43 AUD. Namun saat itu saya sedang beruntung karena mendapat diskon 20% untuk buku filsafat. Restu Schopenhaure, saya kira. 

Saya menyukai Essays and Aphorism karena fokus mendalami berbagai topik mulai dari politik, etika, agama, hingga perempuan dan bahkan opera/musik. Dalam buku ini ia juga menjelaskan tentang kebahagiaan manusia yang terperangkap untuk menentukan sikapnya dalam koridor moral baik dan buruk. Menyukai bacaan filsafat adalah sebuah selera pribadi. Banyak teman saya yang menolak untuk membaca buku semacam ini baik karena pemikirannya yang terlalu gelap maupun bahasa yang tidak umum. Saya juga seringkali tidak mengerti dan berakhir pusing sendiri. Satu hal yang saya sadari, membaca karya filsafat tidak lepas dari latar belakang penulis itu sendiri. Karena itu, sebelum pertama kali membaca bukunya, saya sempat membaca biografi Schopenhaure yang agak tragis itu dan membantu memberikan sedikit latar belakang penulisan karya-karyanya. Dalam buku edisi terbaru ini terdapat prakata yang menjelaskan biografi singkat Schopenhaure. 

salah satu halaman favorit

Ciri khas Schopenhaure yang saya suka adalah pesimisme yang menawarkan untuk menjalani kehidupan dari sudut pandang lain. Saya membaca berulang kali buku ini karena memang tidak paham. Tapi menyenangkan. Seperti omongannya, 

"No rose without a thorn. But many a thorn without a rose."




Itulah tujuh buku yang paling saya senangi di 2017. Ternyata cukup menguras emosi ya untuk menulis kesan pribadi akan suatu buku. Semoga bisa membaca lebih giat di tahun ini. Salam!

Comments