Mengenal Universalitas dalam ECF 2018

Extension Course Filsafat 2018


"Hidup lu kagak kurang rumit apa pake ikutan kelas filsafat segala?"

"Hati-hati ikut kursus begituan nanti kena cuci otak."

"Berat amat sih ikutan kaya gitu. Mending ikutan kursus pranikah kek. Kursus jahit kek. Apa kek."

Itulah reaksi teman-teman saya saat tahu saya sedang ikut kelas filsafat. Bukan kelas sih tapi lebih ke kursus tepatnya, yaitu Philosophy Extension Course aka Extension Course Filsafat. 


"Tenang, gua cuma ikutan kelas filsafat doang. It's gonna be fun." Templat jawaban saya saat ditanyai pertanyaan macam itu.

Filsafat selalu jadi subjek akademik favorit saya setelah sastra dan lingkungan. Awal kuliah dulu, mata saya selalu berbinar saat dikuliahi materi filsafat. Jantung saya berdegap saat membaca karya Plato hingga Sartre. Mata menahan kantuk saat mengerjakan tugas tentang Nietzsche dan Popper. Saya sempat mendaftar filsafat UGM untuk ujian masuk PTN tahun kedua. Namun keluarga saya tidak menyetujui pilihan saya dan hal tersebut membuat saya urung merealisasikan niat saya. Tidak bisa dipungkiri bahwa filsafat masih mendapat stigma dari masyarakat kita. Baik secara akademik maupun karir. Tapi kalau pun boleh adil, saya ingin menunjuk Dian Sastro sebagai contoh. Tapi sepertinya nanti orang-orang menemukan cara lain lagi untuk menyudutkan filsafat: kamu kan bukan Dian Sastro atau menjadi aktris tidak ada hubungannya dengan filsafat. Padahal saya meyakini urusan rezeki serahasia dan sepasti urusan jodoh, seperti yang pernah disebut Iman Saleh dalam tulisan labil yang saya buat tujuh tahun yang lalu.

Pada saat kuliah sarjana dulu, uang jajan pas-pasan harus saya gunakan seefektif mungkin. Waktu yang ada juga dialokasikan untuk bekerja paruh waktu dan mengerjakan tugas. Oleh karena itu ketika saya lihat ada informasi tentang kursus filsafat berbayar di mading kampus, saya hanya berharap suatu saat bisa ikut. Pernah ada kursus Semiotika, biayanya mencapai lima juta rupiah untuk dua minggu bersama pakar Semiotika terkenal. Itu sekitar tahun 2010. Ada juga kursus filsafat Perancis dengan memanfaatkan kursus musim panas di Paris. Saat itu prioritas saya bukan ikutan kursus tersier seperti itu. Dapat materi filsafat dari kampus saja sudah untung. 

Saya belum memiliki kesempatan untuk ikutan kursus filsafat sejak lama karena banyak hal, termasuk waktu dan materi. Setelah lulus pun, saya masih punya ribuan alasan seperti kerja yang berbenturan dengan waktu kursus. Padahal kalau niat selalu ada jalan. Iya, saya makhluk yang suka nyari-nyari alasan. 

Tibalah saat teman saya mengajak untuk ikut kursus filsafat Extension Course Filsafat (ECF) yang diselenggarakan Fakultas Filsafat Unpar ini yang terbuka bagi siapa saja yang tertarik dengan filsafat dasar. Untuk mengikuti ECF ini saya hanya perlu mengeluarkan biaya Rp50.000,00 tiap pertemuan. Ada 12 pertemuan dan biayanya untuk total hanya Rp350.000,00. What a good deal, right! Walau teman saya pada akhirnya batal ikut, saya lanjut saja. Saya merasa kesempatan ini sebagai penjajakan keinginan diri untuk mengambil studi magister filsafat tengah tahun ini. Jadi ECF ini pun cocok sebagai introduksi untuk mengetahui kalau memang niat saya lanjut studi filsafat ini bukan sekadar sudden whim atau pelarian belaka.

ECF ini dilaksanakan selama tiga bulan tiap semester dengan tema yang berbeda. Pada semester ini pertemuan diadakan tiap Jumat dengan materi berbeda untuk didedah. Topik besar adalah universal mind dan beragam materi di bawah judul besar universality disuguhkan. Pemateri cukup akomodatif dengan karakter mengajar yang berbeda pula. Ada yang mengajar seperti di kelas, ada yang berinteraksi dengan penyimak. Pertanyaan dasar seperti 'apakah filsafat masih relevan dewasa ini?' atau 'mengapa kita perlu filsafat?' masih dijawab Pemateri dengan sabar. Wajar karena lulusan SMA pun bisa ikut kelas ini. Secara personal materi filsafat ini jadi refleksi dan kontemplasi diri. Karena materi filsafatnya hanya sebatas permukaan, tentu saja pertanyaan dan pemikiran lanjutan yang bergumul di otak selalu saja hadir saat pulang. Inilah yang menyenangkan. Bertanya dan mencari jawaban. Kalau gak nemu jawabannya, yowes nrimo ing pandum, ora ngoyo. 

Yang saya sukai dari ECF ini adalah ragam pengajar kelas dimulai dari akademisi, praktisi hingga romo. Sementara materi favorit saya, tentu saja, materinya Prof. Bambang Sugiharto, Infinite Mind-nya Dr. Stephanus, dan Beyond Paradoxes-nya Dr. Hadrianus Tedjoworo. Bikin otak orgasme. Jika memenuhi 80% presensi, maka dapat membawa pulang sertifikat kursus.


Beberapa kali bolos tapi tetap dapat sertifikat

Jumat pertemuan terakhir ECF semester ini dipungkas dengan sangat menyenangkan. Setelah kelas berakhir, ada penampilan musik gitar, biola, dan seruling yang syahdu. Bertepatan dengan Ramadhan 1439 Hijriah. Ditutup dengan makan malam soto ayam yang gurih yang bikin saya nambah tiga mangkokOh ya di tiap pertemuan panitia menyediakan materi cetak dan kudapan yang sangat beragam. Mulai dari gorengan, kue lapis, dan jajanan pasar seperti ciu, gurandil, bugis, katimus, dan naga sari. Sementara mata menatap salindia, tangan saya membantu mulut mengunyah. tak jarang saya juga menyelipkan beberapa kudapan ke dalam kantong sepeda saya. Lumayan, bekal di jalan pulang. Kalau ada waktu dan rejeki, saya bakal ikut lagi ECF berikutnya.  




Lantas saya berpikir mengapa Filsafat mendapat stigma yang menyeramkan dan menyesatkan? Apa mungkin karena beberapa dosen filsafat sering diasosiasikan dengan dosen labil yang berbuat seenak perut? Atau mungkin karena beberapa orang yang mendalami filsafat punya kehidupan dan pemikiran yang menjelimet? Atau mungkin karena kita belajar filsafat dituntut untuk mendapat nilai bagus?

Menurut saya filsafat itu menyenangkan karena bertanya dan mencari kebijaksanaan selalu jadi bagian inheren dari diri kita sendiri. Perjalanan diri sendiri yang selalui dimulai dengan merumuskan pertanyaan dan mencari jawaban. Omnia mea mecum porto.


Comments