Memeluk Trauma


Prolog
Saya sangat jarang mengulas film. Pertama karena tak punya kompetensi untuk mengulasnya dari sudut pandang yang memadai, kedua karena film bagus terkadang hanya lewat begitu saja. Namun, kali ini saya memberanikan diri mengulas lima film dari sudut pandang seorang awam yang menontonnya berturut-turut karena film-film ini secara tak sengaja membawa saya kepada sebuah emosi yang serupa tapi tak sama.

Kelima film ini menyajikan cerita tentang berbagai stres, tekanan, dan trauma yang dibalut dalam berbagai kisah hidup. Saya yakin kelima film ini tidak semuanya mengkhususkan diri untuk fokus pada trauma saja, melainkan aspek lainnya dalam hidup seperti cinta dan harapan. Namun, tetap saja menonton kelima film ini berturut-turut mengendapkan pikiran-pikiran dan nostalgia kenangan memilukan.

Saran saya, tonton kelima film ini dengan jeda waktu yang agak lama atau selingi dengan film-film komedi yang menghibur.



Ave Maryam (2019)
Film pertama yang saya tonton dalam rentetan kelima film ini membuat saya tertegun berulang-ulang.

Film ini bercerita tentang Suster Maryam (Maudy Koesnaedi) yang jatuh cinta pada Romo Yosef (Chicco Jericho). Dari awal pertemuan keduanya dalam film, saya sudah menebak film ini bukan pertentangan cinta melawan dunia seperti kisah cinta klasik Romeo dan Juliet, atau Laila dan Majnun. Melainkan pertentangan diri sendiri melawan janji sakral terhadap entitas lebih besar yang mereka yakini.



Yang membuat film ini menarik bagi saya (dan kontroversial bagi sebagian orang) adalah keberanian film ini mengungkap seberapa kuat tekad seseorang untuk menghilangkan (baca: merepresi) nafsu duniawinya demi keyakinan yang ia miliki, yang bisa goyah karena cinta yang hadir terasa begitu nyata.

Saya menangkap dualisme seorang manusia dalam karakter Suster Maryam dan Romo Yosef yang religius namun menjadi humanis ketika disandarkan pada konflik batin percintaan.

Film ini mengingatkan saya pada teori cinta triangular Robert Sternberg yang mengusung tiga komponen cinta: keintiman, hasrat, dan komitmen. Keintiman berarti kedekatan dengan mendukung satu sama lain, berbagi banyak hal dalam hidup, dan perasaan saling mencintai dan dicintai. Inilah yang saya rasakan pada awal-awal pertemuan tokoh Suster Maryam dan Romo Yosef. Hingga akhirnya timbul komponen yang lain berupa hasrat ketertarikan dan seksual yang mendorong mereka menghabiskan waktu bersama. Saya sangat mengapresiasi usaha film ini untuk menunjukan sensualitas dalam koridor yang lembut dan subtil.  Sampai pada akhirnya keduanya dihadapkan pada komponen ketiga, yaitu komitmen keduanya terhadap janji suci masing-masing atau meruntuhkannya dan membangun ulang untuk orang yang baru mereka temui.

Religiusitas suster dan romo akan janjinya dan kehendak bebas mereka untuk bisa memilih melanggarnya memunculkan konsep epistemologis Boethius tentang kehendak bebas yang mengaitkan konsep ketuhanan yang berada di luar nalar waktu. Proses jatuh cinta dalam film ini, menurut konsep Boethius, sudah dalam suratan takdir. Jika begitu, lantas apakah kehendak bebas itu benar-benar ada? 

Menurut Boethius manusia hidup dalam linieritas waktu: masa lalu yang memungkinkan kita tahu apa yang sudah terjadi, masa kini yang memungkinkan kita tahu apa yang sedang terjadi, dan masa depan yang memungkinkan kita tahu apa yang akan terjadi. Walau demikian, kita tidak bisa mengetahui hasil dari kejadian masa depan yang tak pasti. Dalam hal ini, konsep ketuhanan tidak berada dalam arus linieritas waktu, melainkan masa kini yang abadi (eternal present). Ia mengetahui apa yang kita ketahui sebagai masa lalu, kini, dan depan sebagai masa kini. Karena itu kehendak bebas kita masih berlaku. Tuhan melihat pikiran bebas dan aksi kita.

Terlepas dari koridor teoritis, saya menyukai nada warna setiap adegan film ini yang enak dilahap mata. Banyak dialog-dialog sunyi yang diisyaratkan gestur yang pemaknaannya diserahkan kepada interpretasi penonton. 

Ketika kita sudah menyerahkan sepenuh hati untuk keyakinan yang kita miliki, bisakah kita mengklaim kembali sedikit saja ruang hati untuk cinta yang hadir di luar rencana?


Kucumbu Tubuh Indahku (2019)

“Yang namanya hidup itu cuma numpang ngintip urip. Pisah, pindah, mati, wis biasa.”

Film ini menyuguhkan narasi unik yang mengingatkan saya pada film Moonlight (2016). Narasi cerita dikendalikan tokoh utama Juno yang diperankan tiga aktor pada tiga periode cerita berbeda. Juno Dewasa (Rianto) mengendalikan narasi utama, Juno Kecil (Raditya Evandra), dan Juno Muda (Muhammad Khan). Sama seperti film-film lainnya yang saya tonton, saya tidak berusaha mencari tahu tentang film ini sebelum saya menontonnya sendiri.




Film ini mengisahkan perjalanan hidup Juno yang kental dalam budaya Jawa Lengger Lanang, yaitu tarian perempuan yang dilakoni pria. Kisah perjalanan Juno terinspirasi tokoh Rianto yang merupakan penari Lengger dan koreografer yang mengalami diskriminasi. Kisah ini dinarasikan Juno Dewasa ke dalam empat episode yang sama-sama mengeksplorasi filosofi tubuh.

Trauma lebih kental dalam film ini dibandingkan film Ave Maryam. Juno yang berhati lemah lembut tumbuh di lingkungan yang menormalisasi kekerasaan dan pertempuran yang kemudian menjadi internalisasi dalam kehidupan sehari-harinya. Ia yang tak pernah merasakan perhatian dan kasih seorang ibu harus juga kehilangan ayahnya yang pergi begitu saja dari rumahnya. Kekerasan ini diinternalisasi di sekolah dan lingkungan keluarga melalui hukuman fisik dari yang sederhana hingga menyakitkan dan mengendapkan trauma.

Film ini ingin menyampaikan bahwa tubuh adalah alam, alam adalah tubuh yang perlu dijaga dan dipelihara. Konsep ini selaras dengan konsep Arne Naess yang mengenalkan Diri Ekologis (ecological self) dengan menanamkan kesadaran terhadap hubungan makhluk hidup untuk pemaknaan yang lebih berarti. Arne Naess juga mengusung Ekologi Dalam (deep ecology) yang mengenalkan bahwa kita merupakan bagian tak terpisahkan dari alam dan alam adalah diri kita sendiri. Tubuh dan alam ini juga sesuai dengan hipotesis (baca: teori) Gaia yang memostulasikan alam sebagai makhluk hidup yang bernapas layaknya manusia.

Dalam film ini tubuh juga mengalami konflik diri karena menjadi arena layaknya alam: tubuh adalah rumah, hasrat, pengalaman, sekaligus medan perang.

Lepas dari cerita, saya sangat sangat sangat menyukai lagu yang menjadi latar film ini. Beberapa di antaranya dilantunkan Mondo Gascaro, Endah Laras, dan everybody’s favorite Danila. Beberapa nada warna adegan di film ini terlihat tidak mulus. Kadang begitu indah, kadang kasar. Saya tak ahli sinematografi, jadi biarlah.

Sayangnya film ini menuai pelarangan tayang dari kelompok masyarakat karena dianggap mendorong homoseksualitas. Saya tak habis pikir mengapa alih-alih sebagai diskursus yang membukakan mata tentang trauma psikologis tumbuh dan kembang anak dan keterbukaan diskusi tentang hak minoritas, film (dan buku) seperti ini malah menjadi satu sumber ketakutan dan ketidakamanan bagi orang-orang tertentu. 

Menurut saya film ini bisa jadi kritik bagi orang tua dan pendidik yang masih menggunakan kekerasan sebagai metode pendisiplinan. Seringkali trauma destruktif teragregasi bukan dari luka fisik yang bisa sembuh seiring waktu, melainkan luka batin semasa kecil yang terpelihara pengalaman berulang-ulang.

Welcome to Sodom (2018)
Jangan terkecoh dengan judulnya. Film ini tidak berpusat pada seksualitas, melainkan kerusakan lingkungkan global dalam kacamata lokal. Film dokumenter ini memperlihatkan sebuah tempat di Ghana yang bernama Agbogbloshie yang menjadi tempat pembuangan global limbah elektronik sebanyak 250 ribu ton tiap tahunnya. Dalam film dijelaskan bahwa penduduk sekitar menyebut daerah tersebut Sodom yang diambil dari nama kota dalam kitab suci yang dihujani api dan batu belerang.

Film ini saya tonton bersama dua kawan saya di kampus pada Europe on Screen Sabtu lalu. Kami setuju film ini lebih menohok dibandingkan film-film dokumenter lainnya yang pernah kami tonton semisal An Inconvenient Truth, Earth, The Great Warming, atau Sexy Killers yang populer baru-baru ini. Saya mafhum bahwa tiap film memiliki bingkai dan pesan masing-masing. Namun, perbedaan mencolok film ini dengan dokumenter lainnya adalah bingkai dan pesan yang tidak kentara di balik film ini selain menyuguhkan kehidupan orang-orang di tempat pembuangan sampah.



Hampir tak ada romantisasi cerita, tak ada efek sinema, tak ada data yang memukau. Yang ada hanyalah kepulan asap pekat hasil pembakaran limbah elektronik dan sekelompok manusia yang bertahan hidup di dunia limbah elektronik.

Tumpukan limbah elektronik yang menjadi daratan tempat kaki berpijak, kepulan asap yang membara, harapan dan kesempatan yang angan belaka, ketiganya cukup menjalankan tugasnya sebagai kombinasi gambaran apokaliptik yang realistis. Hampir tak ada penyudutan secara eksplisit pihak yang dirasa bersalah. Dokumenter ini hanya menggambarkan orang-orang yang bertahan hidup dari eksternalitas negatif korporasi besar dan orang-orang (baca: kita) sebagai konsumen pertama peralatan elektronik.

Seorang pemulung berharap bisa keluar dari Ghana dan mendapatkan kehidupan lebih baik di Perancis dengan menabung uang untuk secara ilegal masuk ke Perancis. Ia berburu dengan waktu sebelum efek limbah yang menyelimutinya sehari-hari membunuhnya terlebih dahulu.

Seorang pemulung yang bercita-cita menjadi astronot bersembunyi di balik profesi pemulungnya. Di Sodom, pemulung adalah pekerjaan pria karena tuntutan fisik yang lebih berat dan upah yang lebih besar. Seorang gadis muda menyamar menjadi lelaki hanya untuk bisa memulung dan mendapat upah yang lebih banyak.

Seorang perempuan renta menjual air bersih kemasan yang ia angkut di kepalanya. Air bersih kemasan ini digunakan para pemulung pria yang membakar dan melelehkan limbah elektronik yang tidak berguna.

Seorang pemulung yang berpendidikan menyelinap dari Zambia demi menemukan kehidupan yang lebih baik di tempat ini karena di negara asalnya ia tidak diterima sebagai seorang yahudi dan menyukai sesama jenis.

Karena padat dengan cerita kehidupan beberapa individu yang mencari nafkah dari tumpukan masif komputer bekas, monitor, tv, kabel, ponsel, kulkas, mesin cetak, dan peralatan lainnya yang mengandung besi dan tembaga, saya hampir dirundung perasaan bersalah sepanjang film. Dada saya terasa sesak. Saat-saat saya bisa bernapas lega adalah ketika adegan orang-orang di Sodom rehat dan bermain tarian akrobatik sebagai pembunuh waktu luang dan saat adegan mereka bernyanyi. Kebahagiaan di tengah keterpurukan. 

Saya bisa menarik konsep hubungan antarnegara sebagai relasi eksploitatif negara maju terhadap negara-negara di Afrika. Satu hal yang jarang kita sadari adalah limbah elektronik semakin tahun semakin bertambah dan semakin banyak yang tidak terbendung. Beberapa negara maju pun kewalahan menangani limbah elektronik mereka. Jepang dan Tiongkok yang menerapkan kebijakan daur ulang limbah elektronik kini mulai kewalahan dan mulai mencari cara untuk mengekspor limbah elektronik mereka. Sementara ekspor – impor elektronik adalah kegiatan ilegal. Hal ini juga terlihat di Australia dalam serial film dokumenter yang berjudul War on Waste.

Merujuk pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang berusaha menyeimbangkan titik temu antara lingkungan, ekonomi, dan sosial, produksi alat-alat elektronik tentu memiliki manfaatnya sendiri: penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi, dan perkembangan teknologi. Menurut saya titik ekuilibrium ketiganya ada pada kondisi utopis. Banyak produsen teknologi yang menerapkan keusangan terencana (perceived obsolescence) yang menitikberatkan pada rancangan produk dengan rentang hidup yang sengaja dibatasi untuk mengatrol konsumsi produk-produk elektronik berikutnya. Banyak konsumen yang bodo amat dengan isu lingkungan. 

Sebagai konsumen dan juga warga negara, kita semua menjadi bagian dari pasar raksasa dengan kontrol diri yang sebenarnya hanya bisa memulai perubahan kecil. Usai menonton film ini, saya langsung teringat survei nasional pemilu 2019 versi CSIS. Dalam laporannya, ada prioritas program preferensi responden. Program bantuan sosial menjadi prioritas utama yang dipilih 35,5% responden. Sementara isu lingkungan hidup berada dua terbawah dengan  jumlah 1,9% setelah 1,5% responden yang menjawab tidak tahu dan tidak jawab.

Ini juga menjadi cubitan keras bagi saya yang antusias dengan acang dan gawai. Saya senang menabung uang untuk membeli acang dan gawai. Tapi kesenangan saya itu bukanlah kebutuhan saya. Hal ini saya sadari setelah hampir tiga tahun terakhir saya menerapkan konsep minimalisme. Saya berusaha sadar secara lingkungan. Ini adalah pergumulan batin yang saya rasakan.

Beberapa proyek lingkungan yang pernah saya kerjakan berupa formalitas belaka di bawah tirai politik lingkungan yang lebih besar dan kuat. Berada di tengah realita seperti ini, saya sering merasa tidak berdaya dan putus asa. Tak bisa disalahkan jika pemerintah masih memprioritaskan program kesejahteraan karena itulah yang masyarakat sangat butuhkan saat ini. 

Sehabis berdiskusi panjang dengan teman-teman saya, saya pulang. Sambil berkendara saya menangis sejadinya.


The Unforgiven (2005)
Film lama karya sutradara Korea ini saya tonton di Selasar Sunaryo berkat ajakan seorang teman. Lagi, saya tak berusaha mencari tahu film apa ini sampai akhirnya saya duduk selama dua jam di Bale Handap Selasar Sunaryo sambil memelototi film yang alurnya berjalan sangat lambat. Nyanyian jangkrik ditambah udara dingin Dago Atas menambah beban berat mata saya. Untungnya, mata saya masih bisa diajak kompromi sehingga detil film ini masih bisa saya perhatikan.

Menonton film ini butuh kesabaran ekstra karena selain alurnya yang berjalan lambat, pendalaman karakter tidak konfluens satu sama lain dalam satu jam pertama.


Gambar diambil dari sini

Cerita di mulai dengan tokoh Lee Seung-young (Seo Jang-won) yang baru menjalani masa wajib militer (wamil) di Korea Selatan. Di pusat pelatihan militer, ia bertemu Tae-jeong (Ha Jung-woo) yang merupakan commanding officer dan ternyata teman sekolahnya dulu. Mereka kemudian menjalani kehidupan di barak militer yang sangat kental dengan kekerasaan dan senioritas. Alur cerita film ini dibuat paralel dua waktu: saat Seung-young dan Tae-jeong masih wamil dan saat Tae-jeong sudah menyelesaikan wamilnya.

Awal film ini membuat saya berpikir bahwa perundungan dan kekerasan verbal dan fisik yang ditunjukkan belum masuk kategori ekstrem. Ternyata saya salah, film ini sangat perlu viewers discretion karena menampilkan adegan-adegan bunuh diri.

Konflik yang dituturkan di film ini sangat chaotic namun dibalut lembut. Pertentangan idealisme Seung-young yang berkepribadian lembut, pasifis, egaliter dan rasional dibenturkan dengan kenyataan dunia militer yang hirarkis dan menjunjung tinggi senioritas. Bagi saya Seung-young dan dunia militer menjadi miniatur kehidupan yang keras.

Setelah selesai pemutaran film, ada diskusi terarah dengan dua pembicara. Menariknya kedua pembicara menggunakan kacamata gender dalam membedah film ini. Menurut keduanya maskulinitas yang diinstitusionalisasi dalam film ini mengopresi lelaki itu sendiri. Dalam hal ini, patriarki melegitimasi kualitas maskulin dalam dunia militer seperti sifat kuat dan tahan banting yang dinormalisasi melalui kekerasan.

Menurut pembicara beberapa adegan yang menunjukan para lelaki wamil yang menggunakan toilet sembunyi-sembunyi untuk bersantai melakukan aktivitas semisal merokok, makan, dan mengobrol, tanpa diganggu senior mereka, merupakan simbol bahwa maskulinitas terlegitimasi di ruang publik. Sementara di ruang privat, lelaki lebih leluasa menjadi dirinya sendiri dan keluar dari ranah maskulinitas.

Saya lebih fokus menganalisis film ini dengan relasi kekuasaan antara junior dan senior dan dampak psikologis yang luput menjadi bahasan utama diskusi. Saya meyakini relasi kekuasaan ini timbul di mana saja: hirarki keluarga, sekolah, dan termasuk dalam agama. Menurut Foucault relasi kekuasaan-pengetahuan merupakan mutualisme yang inheren satu sama lain. Artinya kekuasaan dibentuk berdasarkan pengetahuan sementara pengetahuan terus mereproduksi kekuasaan sehingga saling menguatkan satu sama lain. Dalam film ini, senioritas menjadi legitimasi seseorang berwenang dan berpengetahuan lebih dari juniornya. Namun begitu, hirarki ini ada yang opresif, ada pula yang ramah (benign). Hirarki yang opresif tergambar gamblang di film ini, sementara hirarki yang ramah terlihat dalam karakter Tae-jeong yang melindungi Seung-young. Film yang merupakan ringkasan tesis Yoong-Jong-bin ini menuai kontroversi karena dinilai memuat homoerotisme dalam relasi Tae-jeong dan Seung-young.

Toilet yang menjadi ruang aman untuk berekspresi malah menjadi ajang kekerasaan senioritas, sehingga asumsi kedua pembicara mengenai fungsi toilet menjadi kurang relevan. Namun begitu, film ini masih memiliki relevansi terhadap kekerasan saat ini yang dilegitimasi melalui ospek, geng perempuan (yang justru menggunakan toilet sebagai arena kekerasaan), dan senioritas profesi.

Seorang penonton berdiskusi bahwa kekerasaan verbal yang lembut (baca: berteriak) masih bisa ia tolerir sebagai pendisiplinan. Menurut saya, pendisiplinan memiliki banyak metode, tidak hanya saja mengatributkan kekerasaan dan ketakutan. Persoalannya adalah tiap orang memiliki ambang batas stimulan psikologis yang berbeda. Itu sebabnya sebagian orang sangat membenci dibentak-bentak, sementara sebagian lainnya biasa saja.

Yang mengerikan dalam film ini adalah bagaimana kekerasan bisa mengubah karakter seseorang –entah itu maskulin maupun feminin – menjadi bagian dirinya. Di film ini, Seung-young diubah sistem menjadi sosok yang ingin ia tentang, bahkan ia menjadi sosok yang ia sangat benci. Ia menginternalisasi bahwa kekerasaan adalah metode pendisiplinan yang mutlak efektif sehingga ia mengalami krisis identitas dan mempertanyakan justifikasi tindakannya pada Tae-jeong.

Menariknya lagi, karena militer merefleksikan imaji negara, relasi antarnegara bisa dilihat sebagai ajang pamer kekuatan. Bukan berarti dalam konteks pertahanan militer tidak penting, tapi ketakutan dan ketidakamanan negara satu sama lain menciptakan musuh bersama yang diturunkan melalui kekerasan pada warganya.

Bagi saya, film ini menjadi evaluasi diri dan siapapun yang menonton bahwa perlu ada kajian ilmiah seperti tes psikologi masing-masing individu untuk mengetahui ambang batas stimulan psikologis mereka sehingga pendisiplinan dalam kehidupan sehari-hari dan bahkan militer bisa tepat sasaran, yaitu menguatkan mental seperti yang diharapkan. Bukan meneruskan dendam dan kebencian.


27 Steps of May (2019)
Saya menyadari bahwa menonton terlalu banyak film memilukan dalam satu rentetan waktu dapat sangat melelahkan. Tadinya saya berniat menjeda film ini dengan Avengers yang sedang ramai dibicarakan orang. Tapi mengingat kegiatan beberapa hari ke depan, saya beranikan diri untuk menonton film ini kemarin malam. Saya juga khawatir film ini sudah keburu turun layar jika harus menunggu mood saya baikan.



Film ini mengisahkan seorang gadis sekolah menengah pertama bernama May (Raihaanun) yang diperkosa ramai-ramai saat ia bermain ke taman ria. Akibatnya, ia menderita trauma psikis dan psikologis selama delapan tahun lamanya. Dalam periode waktu ini May tidak keluar rumah dan hanya sibuk dengan rutinitas yang monoton. Ia hanya makan makanan putih, membuat boneka berkostum putri, dan cenderung menyakiti dirinya sendiri ketika potongan kejadian nahas itu terlintas di benaknya. Ia juga digambarkan menderita gangguan obsesif kompulsif ringan yang saya asumsikan muncul akibat traumanya: Ia menghitung bonekanya, menyetrika bajunya dengan presisi, dan menata rambutnya begitu saja selama delapan tahun.

Film ini menuturkan trauma psikologis seseorang dengan jeli. Rutinitas berulang yang May lakukan merupakan distraksi paling ampuh untuk menjauhi lokus traumanya. Ia rutin berolahraga lompat tali untuk melepas rasa hancur, takut, sedih, dan kecewa dirinya. Kamarnya menjadi safe haven yang tak hanya melindungi ia dari segala kejahatan yang ia pikir merusaknya, namun juga mengisolasi diri dia dari dunia asing di luarnya. Hal ini terlihat saat ada ancaman kebakaran di rumahnya, May harus dipaksa keluar sang ayah (Lukman Sardi). Ia meronta memilih tinggal di kamarnya walaupun sudah beberapa langkah berhasil keluar. Adegan ini menyimbolkan secara sederhana tentang langkah yang seseorang lakukan untuk sembuh dari trauma sangatlah menyakitkan. Adegan akhir film mengamplifikasi berlipat-lipat pemaknaan ini.

Sementara itu, ayah May harus berjibaku dengan rasa bersalah karena inkompetensinya dalam melindungi May. Sejak kejadian traumatis itu, May kehilangan kemampuannya (dan keinginannya) untuk berbicara, termasuk dengan ayahnya sendiri. Melihat May seperti ini, sang ayah didera perasaan menyakitkan bertubi-tubi. Awalnya Ayah May menghadapi rasa bersalahnya dengan meluapkan emosinya di ring tinju melalui kekerasaan.

James Gilligan dalam artikelnya Shame, Guilt, and Violence terbit 2003 menjelaskan bahwa kekerasan merupakan salah satu penyaluran rasa malu dan bersalah akan kejadian yang menimpa seseorang. Ketidakmampuan seorang ayah melindungi anak perempuannya merupakan emosi yang lebih menghancurkan dari rasa malu dan bersalah akan dirinya: kegagalan dalam mencintai seorang anak.

Berbeda dengan kekerasan film Unforgiven yang merepresentasikan kekuasaan, film ini menunjukan kekerasan sebagai sebuah ketidakberdayaan.

Setiap ayah melihat May, ia terbayang rasa bersalahnya dan menyalurkannya lewat kekerasan. Walau ia dikeluarkan berkali-kali dari ring tinju, ia tetap bersikeras ingin bertarung. Agresivitas meningkat seiring dengan kesadaran akan ketidakmampuannya memperbaiki yang sudah terjadi. Kekerasaan yang awalnya merupakan pelampiasan atas rasa malu dan bersalah bertransformasi menjadi penghukuman diri. Karena itu, tokoh pengantar boneka dalam film ini selalu menegaskan bahwa yang terjadi sudah terjadi dan tak ada gunanya menghukum diri.

Awalnya saya melihat penolakan luka dalam film ini melalui kacamata siklus berduka KΓΌbler – Ross. Namun seiring film berlanjut, saya kehilangan landasan teori ini. Dalam film ini tak ada duka kehilangan orang lain, melainkan diri sendiri. Saya segera ingat teori Hadapi atau Lari (fight or flight) dari Psikolog Amerika Walter Cannon yang menjabarkan bahwa stres dan trauma dapat memicu reaksi psikologis dan fisiologis, bahkan ketika stres itu tidak nyata. Oleh karena itu seseorang bisa memilih menghadapi rasa stresnya atau lari darinya. Contoh sederhana, seseorang akan merasa senang mendapat promosi pekerjaan walaupun beban kerjanya bertambah, karena itu ia akan menerima promosi pekerjaan itu. Bagi orang lain promosi pekerjaan merupakan sebuah kondisi stres karena memberikan beban pekerjaan yang lebih melelahkan, karena itu bagi orang ini menolak promosi pekerjaan adalah langkah rasional.

Setiap langkah May menjadi simbol bagaimana seseorang menghadapi trauma hidupnya. Atau stres yang biasa kita alami sehari-hari: Lari atau hadapi.

Cerita membawa May untuk menghadapi traumanya saat titik tumpu cerita terbagi dengan sang pesulap (Aryo Bayu) yang hadir di kehidupan May. Pesulap ini dijabarkan membawa angin segar melalui pertunjukan yang menarik pehatian May. Sosok May di awal film – yang ceria dan bisa menikmati taman ria – berusaha kembali muncul ke permukaan dan menjadi distraksi rutinitasnya yang itu-itu saja. Ia mulai kehilangan fokus rutinitasnya sehari-hari. Ia mulai tidak terstruktur dan berani mencoba makanan lain. Boneka berkostum putri kini berubah berkostum pesulap.

Perubahan May ini berdampak terhadap perubahan ayah May. Ayah May menjadi lebih lembut dan tidak agresif. Ia mulai merawat kebun kecilnya yang sudah lama terbengkalai. Perubahan sepele yang digadang progress ini merupakan pengingat bagi penonton, sekecil apapun perubahan yang dibuat dalam menghadapi trauma, merupakan langkah awal menuju penyembuhan trauma itu sendiri.

Perlahan sang pesulap mengajarkan May trik sihir pertunjukannya dan menggugah May yang tertimbun trauma lamanya. Beberapa gestur pesulap memicu May untuk mengakses ulang kenangan pahitnya. Kontradiksi ia rasakan berupa kesakitan yang mengintesifikasi. Film ini mengajarkan tanpa berusaha menggurui bahwa mengakses trauma, baik mengingat maupun membicarakannya, tidak semudah membalikan tangan. Begitu pula dalam berdamai dengan trauma sendiri. Di penghujung film ini, May terlihat kembali ke keadaan awal. Hal ini merupakan inner turmoil yang lebih besar terjadi dalam dirinya. Pesulap yang mengecup pipi sebagai tanda afeksi diinterpretasikan alam bawah sadar May sebagai ancaman yang memicu kenangan buruknya. Ia kemudian kembali mundur menjauhi traumanya, namun di sisi lain ia berhasil mengakses traumanya tersebut. Dalam hal ini keterbukaan dan kedekatan kita dengan seseorang bisa menjadi bantuan pulih dari trauma atau memperparah kerapuhan diri.

Boneka berkostum putri kini berubah menjadi sosok May saat mengalami traumanya.

Titik puncak film ini adalah saat May berusaha mengakses traumanya sampai pada titik reka adegan kejadian nahas yang menimpanya. Dengan ditemani sang pesulap, May menghadapi traumanya yang sudah terkubur delapan tahun. Dalam pemulihan trauma psikologis, keadaan relaps adalah kewajaran, bukan selalu berarti sebuah kemunduran. Ia menunjukan resistensi dan kesadaran berulang untuk mengakses lokus traumanya.

Saya sangat kagum akan film ini yang menghadirkan sosok pesulap. Sulap diasosiasikan dengan sihir, padahal ia berisi trik yang bisa dipelajari. Film ini menyiratkan bahwa menyembuhkan trauma membutuhkan sihir yang sebetulnya bisa dipelajari dengan waktu dan kesabaran. Di akhir cerita, lampu sorot tetap berada pada May yang bisa menerima dan pulih dari trauma nya. Ia mulai berpakaian lebih ceria dan bergairah terhadap hidup sampai memberanikan diri berjalan keluar rumah.

Saya menyukai akhir cerita ini yang sangat padat tanpa meromantisasi peran pesulap sebagai penolong tunggal. Saya juga suka bagaimana dialog bisa dibangun melalui adegan sunyi. 

Film ini menjadi pengingat bagi penonton untuk terus melangkah mendekati lokus trauma kita. Dengan perkembangan yang tak perlu buru-buru, yang dibutuhkan hanyalah kesabaran dan waktu.

Epilog
Setiap orang tumbuh dan berkembang melalui suka dan duka, cinta dan luka. Luka yang membekas baik pada tubuh maupun jiwa secara medis disebut trauma. Secara sederhana, trauma merupakan keadaan jiwa atau tingkah laku yang tidak normal sebagai akibat dari tekanan jiwa atau cedera jasmani. Karena tiap orang memiliki ambang batas trauma yang berbeda, satu tekanan dan kejadian hidup seseorang tak bisa dikategorikan sama dalam kehidupan orang lain. Inilah persamaan dari kelima film yang saya tonton belakangan ini.

Kelima film inilah yang membuat saya ingin mengamuk. Entah karena sedih, marah, atau kecewa. Entah hanya terbawa emosi sesaat maupun jauh terpendam. Saya sungguh menyadari saya juga memiliki trauma yang sedang saya sembuhkan perlahan-lahan. Semoga, siapapun yang sedang mencoba menyembuhkan traumanya dan berjuang menjalani hidup – suatu saat, cepat atau lambat – bisa kembali berdamai dengan (trauma) dirinya sendiri.




Comments