Menuju Taman Bumi Tersembunyi (Bagian 2)



Taman Bumi Ciletuh Palabuhan Ratu

Menuju Puncak Darma
Setelah berfoto di pinggir jalan (bagian 1) aku bergeser menjelajahi taman bumi ini. Motorku melintasi lahan terbuka dengan beberapa batang pohon yang sudah terpotong. Pembalakan liar. Begitu aku pikir. Aku belum riset apakah ada arena dalam taman bumi ini yang memang bisa dimanfaatkan kayunya melalui penebangan. Pertanyaan ini aku simpan baik-baik untuk aku ungkap nanti.

Pikiranku teralihkan saat bertemu dengan tiga pengendara motor yang berada di depanku. Mereka membonceng tas berukuran sama denganku. Sebuah gitar bertengger di jok depan motor matik salah satunya. Tanpa berhenti berkendara, seorang yang membawa gitar menyapa dan bertanya padaku,

“Sendirian aja mas?”



Aku mengangguk mantap kemudian ganti bertanya, “Mau kemping di mana?”

Salah satu dari mereka menjawab bahwa mereka berencana kemping di Ujung Genteng yang masih lima jam perjalanan dari Ciletuh. Aku mengutarakan rencanaku untuk mampir dulu ke beberapa puncak yang dilewati di sepanjang Jalur Loji, lantas memikirkan akan kemping di mana. Sejujurnya aku juga belum tahu akan kemping di mana.

Aku pamit melaju duluan karena mengejar waktu. Tiga puluh menit kemudian aku tiba di Puncak Gebang. Parkir di sini sungguh pelik. Aku harus agak memutar karena letak puncak ini berada persis di sisi kanan jalan setelah tanjakan yang cukup ekstrem. Beruntung aku menggunakan motor. Menurutku mobil agak sulit parkir di sekitar sini. 

Pagi di puncak (baca: tebing pinggir laut) ini sungguh sepi. Hanya ada aku sebagai pengunjung, seorang lelaki yang asyik berbicara lewat ponselnya, dan seorang penjual bakso dengan motor keliling di saung dekat pintu keluar. Dari lima warung yang ada, hanya satu yang buka. Tak butuh waktu banyak untuk mengelilingi puncak ini karena lahannya yang tidak terlalu luas. Setelah mengelilingi puncak ini, aroma bala-bala yang digoreng di warung mencocok hidungku untuk segera menyamperinya. Aku bergegas menuju warung dan merebahkan tasku di tempat duduk. Seorang ibu yang sudah agak sepuh menyapaku dari dalam warung. Aku langsung makan bala-bala dan gorengan lainnya. Satunya Rp1000,00. Cukup murah untuk daerah wisata yang sangat jauh dari kota. Ibu warung berkata bahwa saat ramai pengunjung, motor yang parkir di puncak ini akan dikenakan biaya Rp5000,00. 

Ibu warung menambahkan bahwa warung-warung di sini buka pada akhir pekan dan hari libur karena ramai dikunjungi. Aku baru sadar bahwa hari ini adalah Selasa. Ibu warung lanjut berkata padaku bahwa asal aku beli beberapa makanan dari warungnya, aku tak perlu membayar uang parkir. Aku dengan senang hati setuju. Dari Ibu warung ini, aku tahu bahwa banyak pengunjung yang kemping atau menumpang tidur di warung untuk menghabiskan malam. Tanpa dikenakan biaya tambahan, asal ya jajan banyak di warungnya. 

Saat sedang asyik mengunyah bala-bala, Ibu warung bertanya, 
“Teman-temannya mana, Nak?”
Aku telan bala-bala yang belum lumat sepenuhnya, “Sendirian, Bu.”
Ibu warung membalas, “Gak apa sendirian juga. Da semuanya juga aslinya mah sendiri.”

Percakapan ini terdengar lebih dramatis dalam bahasa Sunda. Aku menangkap sinyal bahwa Ibu warung yang saat itu memang sendirian di warung berniat curhat, tapi aku urungkan untuk bertanya lebih lanjut dan menyimpan kalimat terakhirnya sebagai pengingat diri saja. Aku pamit beristirahat di saung yang berada di ujung puncak ini. 

Di saung ada satu lelaki yang sedang berbicara serius lewat telepon dan seorang tukang bakso yang sedang istirahat. Aku permisi ikut duduk. Awalnya aku duduk-duduk di saung sambil melihat pemandangan laut dan awan biru yang dibatasi gradasi horisonnya. Aku keluarkan jurnal pribadi (baca: buku harian) sambil menulis beberapa entri. Perlahan-lahan angin sepoi-sepoi membuai kelopak mataku. Aku pun menyerah dan telentang tidur.

Baca dulu tentang Self-Solitude 

Dua jam kemudian tubuh terbangun segar. Aku cek barang-barangku dan pamit meneruskan perjalanan. Menurut Ibu warung, ada puncak yang lebih ramai dikunjungi tak jauh dari Puncak Gebang. Namanya Puncak Darma. Puncak ini terkenal karena menawarkan pemandangan yang lebih indah. Aku agak sedih mendengar hal ini. Bagaimana rasanya jadi Puncak Gebang yang kalah pamor karena terlahir menjadi tebing yang ada di ujung tanjakan jalan? 

Tak jauh dari Puncak Gebang, ada beberapa puncak lainnya yang pamornya tak kalah redup. Aku lewat begitu saja karena lebih penasaran pada puncak yang menjadi primadona di sini. Hanya butuh lima belas menit sampai tiba di Puncak Darma. Di sebelah kiri jalanan, deretan warung dan saung siap menyuguhkan makanan yang lebih variatif. Ada makanan rumahan, bakso, dan rujak. Aku parkir di sebelah pintu masuk Puncak Darma yang dijaga dua orang lelaki. Parkir di sini gratis. Hanya saja jika masuk ke Puncak Darma, tiap kendaraan harus bayar: Rp3000,00 untuk motor dan Rp5000,00 untuk mobil. Aku melihat ada beberapa pengunjung yang memarkirkan motornya dan foto-foto di parkiran tanpa masuk ke puncak tidak dikenakan biaya masuk. Cukup adil. 

Perutku kembali keroncongan. Bala-bala yang aku makan dua jam tadi sudah hilang entah jadi apa. Aku melirik nasi untuk mengisi santap siangku dan kali ini bapak warung menyuguhkan nasi ayam dan waluh sepiring penuh dengan harga Rp6000,00 saja. Aku terkejut. Tapi setelah mencicipi rasanya, aku kemudian merengut. 

Menjelang tengah hari, aku ikut salat di musala yang letaknya tak berjauhan dengan toilet di Puncak Darma. Musala yang dimaksud adalah warung kecil yang halamannya lebih luas dibandingkan warung-warung lainnya. Tak enak hanya menumpang salat, aku membeli beberapa camilan untuk bekal. Padahal pemilik warungnya, kali ini sepasang Ibu dan Bapak, berkata bahwa mereka tak berkeberatan aku hanya salat saja.

Pantai Ciletuh dari Puncak Darma

Aku sungguh senang berbincang dengan orang-orang sini yang ramah. Termasuk dua orang lelaki penjaga tiket masuk Puncak Darma. Setelah selesai salat, aku masuk ke Puncak Darma (baca: yang juga merupakan tebing pinggir laut). Dua orang penjaga ini berambut merah dan bertato. Satu di antara mereka bertindik. Tak ada senyum di wajahnya. Mungkin karena terik matahari yang terasa sampai ke jiwa. Begitu aku tanya tentang Puncak Darma, keduanya ternyata sangat ramah menjawab. Mereka berdua bercerita panjang lebar tentang sejarah Puncak Darma termasuk tentang pengelolaannya. Menurut mereka, banyak lahan di taman bumi yang masih dimiliki pribadi dan menjadi sengketa pembebasan lahan dengan pemerintah provinsi. Puncak Darma dan Puncak Gebang adalah dua di antaranya. Namun begitu, pemilik lahan menyerahkan pengelolaan sepenuhnya pada masyarakat. Pemerintah juga mendukung hal itu dengan menetapkan biaya parkir yang terjangkau bagi pengunjung. Itu alasannya banyak spot wisata di taman bumi ini tidak memberlakukan tiket masuk, melainkan hanya biaya parkir. Semua pemasukan dari pengunjung dikelola oleh warga sekitar untuk pemeliharaan dan honorarium.

Tak heran Puncak Darma menjadi paling populer karena secara topografis, ia adalah puncak (baca: bukit di tepi laut) yang paling tinggi dengan pemandangan yang paling cantik. Dari puncak ini, aku bisa melihat Pantai Ciletuh dan tebingnya yang menyerupai tapal kuda atau amfiteater. Plus, puncak ini menawarkan spot foto yang lebih ciamik untuk diunggah di media sosial.

Tak lama melihat-lihat di Puncak Darma, aku melanjutkan lagi perjalananku. Selain karena sangat panas (tabir surya ternyata sangat membantu melindungi sengatan matahari), masih banyak tempat yang ingin aku kunjungi. Kedua penjaga itu masih antusias saat aku tanya spot wisata yang patut dikunjungi. Mereka menyarankan Pantai Ciletuh, Curug Sodong dan Cimarinjung, Bukit Panenjoan, dan Puncak Aher. Aku sempat baca-baca mengenai Puncak Aher dan tidak tertarik berkunjung ke sana. Mereka bahkan mendorongku untuk terus berkendara hingga Ujung Genteng. Aku tersenyum saja. 

Dari Puncak Darma aku mengambil jalan ke kanan berupa turunan tajam dan tanjakan yang lumayan panjang. Saat aku melewati kedua jalan ini, sedang ada perbaikan jalan dan pembangunan resor. Tak jauh dari sini ada spot wisata berupa puncak (padahal mah tebing lagi) yang sedang direnovasi. Aku teringat kata salah seorang penjaga tiket Puncak Darma bahwa akan ada spot wisata yang memberlakukan tiket wisata karena ia dikelola oleh perusahaan privat.  

Hanya berjarak sekitar dua puluh menit turun dari Puncak Darma, aku tiba di permukiman warga yang berupa dataran rendah dan pantai, namanya Kampung Cimarinjung. Di daerah ini ada beberapa spot wisata seperti Pantai Ciletuh yang menjadi atraksi utama di taman bumi dan Curug Cimarinjung yang katanya bagus. Aku menaruh spot wisata di daerah ini di daftar kunjungan hari terakhir. Masih ada spot wisata yang jaraknya satu hingga dua jam yang perlu aku kunjungi terlebih dahulu, seperti Bukit Panenjoan dan Curug Sodong. 

Di kampung Cimarinjung ini banyak rumah inap, khususnya di sepanjang Jalan Cimarinjung. Setelah tanya-tanya, rupanya rumah inap ini merupakan program pemerintah kabupaten dan provinsi sebagai salah satu upaya pemberdayaan ekonomi. Karena ada jembatan yang sedang diperbaiki, aku harus berjalan memutar melewati persawahan. Di sini aku merasa bahwa Ciletuh seperti taman yang tersembunyi. Dari bawah, aku bisa melihat tebing-tebing tinggi mengelilingi perkampungaan warga seperti di film-film kolosal pedalaman Tiongkok atau Tibet.

Pesawahan Dikelilingi Perbukitan 

Perjalanan menuju Bukit Panenjoan memakan waktu satu jam dari Kampung Cimarinjung. Dalam perjalanan, aku melewati beberapa spot wisata lainnya, yaitu berupa curug: Curug Sodong, Curug Awang, Curug Manik, dan Curug Tengah. Di antara semuanya, Curug Sodong adalah yang tercantik. Karena letaknya agak jauh dari jalan utama, aku simpan curug ini untuk dikunjungi saat balik ke Pantai Ciletuh. 

Bukit Panenjoan merupakan titik observasi yang bisa menangkap pemandangan secara lengkap menurutku. Dari bukit ini, aku bisa melihat lansekap Ciletuh yang betul-betul menyerupai tapal kuda dan amfiteater. Dinding-dinding bukit yang hijau dengan sembilan air terjun yang menyembul mengelilingi Bukit Panenjoan. Ladang dan sawah tercetak jelas hijau dan kuning menghampar bagai karpet alami. Aku berpikir pemandangan ini akan jauh lebih segar saat musim hujan. Jawa Barat sungguhlah cantik. Ia menyimpan kecantikannya untuk dikagumi orang-orang yang perlu pelarian dari kesibukan dan hiruk pikuk kehidupan urban modern.

Titik Pandang Bukit Panenjoan

Di sekitar Bukit Panenjoan tersedia juga kafe dan rumah makan yang lebih modern dibandingkan di Puncak Darma. Bukit Panenjoan juga menyediakan penginapan yang terjangkau. Selain itu di sini juga disediakan tempat kemping. Hanya saja saat aku melihat ke sekitar, tak ada satupun orang yang kemping, jadi aku pun hanya melihat-lihat. Biaya parkir di sini hanya Rp5000,00. Aku bisa melihat-lihat memutari titik yang sudah didesain sedemikian rupa untuk memaksimalkan jarak pandang. Jika mau gratis, ada lookout bukit di sebelah Bukit Panenjoan. Di sini pemandangannya tidak seindah di Bukit Panenjoan tapi patut dicoba juga.

Di kantin Bukit Panenjoan, aku beristirahat sejenak. Sedari tadi tas aku titip di kantin ini sehingga bebas bisa jalan-jalan memutari Bukit Panenjoan. Agak lucu sih mendengar kata Panenjoan yang berasal dari kata tenjo yang berarti lihat atau pandang. Bukit Penglihatan atau Bukit Pemandangan.

Baca juga Refleksi Setahun di Australia 

Impulsivitas Ujung Genteng
Sambil menenggak minuman dingin, aku berpikir untuk kemping di sini walau tak ada orang. Tiba-tiba sisi impulsif dari diriku menyeruak dan menyuruhku untuk kemping di Ujung Genteng. Dari Bukit Panenjoan hanya butuh dua jam lagi menuju Ujung Genteng. Satu jam menggunakan motor dengan kecepatan optimal. Jam di ponsel membentuk angka 1510. Instingku berkata pasti bisa sampai sebelum magrib. Otakku meragu. Terakhir berkunjung ke Ujung Genteng adalah saat kuliah sepuluh tahun lalu. Aku dengan teman-teman beasiswa berkunjung ke sini dalam rangka outbond penerima beasiswa. Saat itu kami habiskan satu malam di penginapan bersama dengan institusi pemberi beasiswa kami. Bayangan bertenda di pantai sendirian membuat air liurku mengalir. Aku segera mengambil Deuterku dan pamit kepada penjaga kantin. Menurutnya, aku akan sampai di Ujung Genteng sekitar pukul 7 malam. 

Aku mengikuti peta Google dan menelusuri jalan tercepat ke Ujung Genteng. Beberapa jalan bisa dikebut karena bagus. Beberapa jalan harus dihayati perlahan karena luar biasa jelek. 

Aku berusaha fokus saat mengantuk dan menurunkan kecepatan di daerah permukiman warga. Satu jam kemudian laut yang mulai terlihat membakar semangatku untuk berlomba dengan magrib. Aku membeli beberapa camilan dan minuman di miniswalayan terdekat dengan Ujung Genteng. Dari sini, jarak pantai hanya tinggal tiga puluh menit. 

Entah mengapa, peta Google memprediksi waktu tiba dalam kurang satu jam. Padahal aku yang menggunakan motor dengan kecepatan optimal saja hanya bisa menempuh jarak ini dalam waktu dua jam. Aku berputar-putar berharap bisa menemukan pengunjung yang hendak kemping yang aku temui saat berkendara di jalan masuk Ciletuh. Lima belas menit aku menyusuri sisi barat pantai Ujung Genteng, tak aku temukan satu tenda pun. Lima belas menit kemudian aku habiskan untuk mencari spot kemping yang enak. 

Menjadi catatan tersendiri bagiku bahwa Ujung Genteng tak memiliki lokasi khusus kemping. Sama seperti di Gili Trawangan dan Gili lainnya. Untuk kemping di Ujung Genteng hanya perlu mencari spot yang sepi dan terlindung dari angin pantai. Dengan pertimbangan ini, aku kemping di pantai yang tak jauh dari permukiman warga untuk alasan keamanan. Aku bertanya kepada nelayan yang sedang membereskan kapalnya di tepi pantai jika aku boleh memasang tenda di pantai ini. Ia menjawab,

“Boleh. Ini kan pantai milik bersama.”

Aku duduk melihat matahari terbenam dari kejauhan dan merasa khidmat di tengah bunyi deburan ombak. Entah mengapa pada momen-momen seperti ini, kamera dan ponsel terasa jauh dari tangan, seakan hanya mata saja yang ingin menangkap mesra pemandangan ini. Seakan hanya telinga saja yang ingin diakrabi suara alam. Dan seakan hanya jiwa saja yang ingin khusyuk mencumbu alam.

Aku mendadak merasa sentimental. Ya, mungkin karena aku kelelahan juga, sih.

Saat magrib, aku segera memasang tenda di belakang pepohonan kecil dan memarkir motorku di sebelahnya. Aku pastikan jaraknya aman jika terjadi pasang laut. Beberapa orang kerap mengunjungiku dan menawariku penginapan yang harganya Rp200.000,00 per malam. Aku menolak halus dengan berkata sudah membawa tenda. Seseorang di antaranya bertanya, “Kok sendirian mas? Gak takut?”

Aku cuma bisa tersenyum sambil lanjut memasang tenda. Angin pantai yang kencang menerjang tenda yang belum utuh aku buat. Butuh tiga puluh menit untuk aku sendirian memasang tenda di tengah angin pantai yang perkasa. Aku kepayahan tapi juga lega karena bisa sendirian menegakkan tenda di pantai. Aku pastikan pasak dan tali pengikat penopang di pohon terpasang kuat. Satu pengalaman agak buruk adalah, saat aku dan seorang sahabat jalan-jalan ke Pulau Sempu dan bermalam menggunakan tenda. Keesokan paginya, sebuah tenda mengapung di laguna pantai. Sulit untuk dijangkau. Beruntung penghuninya aman. Kami juga bernapas lega itu bukan tenda kami. Agak sayang juga sebenarnya melihat tenda harus ditelan lautan dan menjadi sampah di dasarnya. Tapi kupikir alam punya cara-cara sendiri untuk mengajarkan sesuatu pada kami.

My Portable House 

Setelah memastikan tenda layak dihuni, aku segera masuk tenda, ganti baju dan beres-beres, kemudian santai-santai. Yang aku lakukan hanyalah membaca buku, menulis entri jurnal pribadi, mendengarkan musik, memasak mi, membuat kopi, melihat gelapnya laut, bermain pasir, bermain dengan kucing, menutup mata tapi tidak tidur, berefleksi tentang diri, merindukan orang-orang, berkontemplasi dengan suara-suara alam, mendengarkan gemuruh angin, sampai akhirnya tertidur.

Pukul dua pagi aku terbangun oleh suara-suara berisik di luar. Ternyata ada pengunjung lain yang sedang memasang tenda. Aku keluar dan membantu mereka berempat. Mereka menggunakan mobil sebagai penghalau angin yang menerjang tenda mereka. Kami ngobrol sebentar sambil menyesap kopi panas. Mereka bercerita pergi dari Jakarta pukul lima sore dan baru tiba pukul dua pagi. Banyak kemacetan yang menghadang mereka, salah satunya truk yang terguling. Setelah mengobrol agak lama, kami pamit tidur.

Pukul lima pagi aku bangun untuk melihat matahari terbit tapi tak terlihat jelas. Jadinya aku hanya bermain-main di pantai, foto-foto di pantai, mengecek ponsel, mengunggah ke media sosial, kemudian balik ke tenda dan tidur. Aku terbangun lagi pukul delapan pagi dan melihat tenda sebelah yang tadi dini hari baru datang sudah dibereskan untuk pulang. Mereka berkata memang berencana hanya sebentar saja di Ujung Genteng karena harus masuk kerja dan kuliah lagi. Sementara aku masih punya banyak waktu luang. 
Ujung Selatan Jawa Barat

Aku sempatkan beli telur dan sayuran di warung dekat tendaku dan berkenalan dengan Bu Ipah yang mengelola penginapan. Katanya hari biasa memang sepi. Harga sewa perkamar yang biasanya empat ratus ribu per malam bisa ia turunkan menjadi setengahnya. Ia juga bilang satu kamar bisa diisi sepenuhnya. Ada yang pernah diisi sepuluh orang, asal muat saja. Bu Ipah juga mempersilakanku untuk mandi di toilet umum di belakang warungnya. Biaya seikhlasnya. Setelah mengobrol banyak, aku balik ke tenda untuk masak telur dan sayuran.

Perut sudah kenyang lalu aku lanjutkan membaca buku, kemudian tidur lagi. Hari menjadi lambat. Biasanya saat di gunung, waktu menjadi padat. Aku dan teman-teman pasti tak punya banyak waktu bersantai. Aku bahagia punya waktu leluasa untuk berlaku sesukaku di alam saat ini.

Pukul 12 siang tenda sudah kembali masuk ke dalam tasku. Aku siap bergeser ke spot wisata selanjutnya, yaitu Curug Sodong yang terkenal dengan air terjun kembarnya. Belum jauh berjalan, aku mampir di pom mini untuk mengisi bensin dan salat zuhur di mesjid dekat sini. Aku bertemu dengan seorang warga yang satu kampung halaman denganku. Ia berasal dari Ciamis dan menikah dengan warga sini. Ia bercerita seminggu sekali ia harus menempuh Ujung Genteng – Ciamis dan sebaliknya lewat Jalur Sindang Barang untuk pekerjaannya. Ia bekerja sebagai kanvaser produk makanan. Pada saat ia bercerita, aku tidak menangkap sedikit pun nada menyesal atau mengeluh. Ia memberikan beberapa tips mengendarai motor jarak jauh, seperti menggunakan pelindung dada, selalu menggunakan masker atau buff, dan beristirahat sejam sekali.

Perjalanan menuju Curug Sodong hanya memakan waktu sejam. Lebih cepat karena aku sudah bisa mengira rutenya. Dari Ujung Genteng, Curug Sodong ini terletak setelah Bukit Panenjoan, lokasinya berada di sebelah kanan jalan. Sebelum ke Curug Sodong, aku mampir ke kantor PAPSI (Paguyuban Alam Pakidulan Sukabumi) yang merupakan wadah warga lokal untuk melestarikan taman bumi ini sekaligus menjadi wadah untuk informasi dan memberdayakan diri. Kantor PAPSI ini berada tepat di seberang Bukit Panenjoan dan terlihat sepi saat aku datang. Kantornya asri dan bersih dengan papan informasi mengenai rumah inap dan paket wisata. 

Aku memarkirkan motorku di halaman kantor dan mencari informasi dari penjual yang berdagang di sekitar. Aku berjalan menemui tukang cendol dan bertanya tentang orang PAPSI. Katanya orangnya sedang mengantar tamu ke Ujung Genteng sejak tadi pagi dan akan kembali sore nanti.

Aku sempat melihat-lihat lookout Bukit Panenjoan yang gratis untuk membunuh waktu. Di sini ada dua orang mahasiswa yang sedang Kuliah Kerja Nyata (KKN) bersama timnya yang sedang tersebar ke beberapa titik lainnya. Aku mengobrol dengan mereka sebentar.

Rupanya mereka mahasiswa UGM yang sedang survei untuk mengganti pijakan kaca yang retak. Menurut mereka, walau jauh dari Yogyakarta mereka sangat puas di sini karena alamnya yang indah dan luas. Mereka merasa tidak seperti sedang KKN walau mereka harus tinggal dua bulan di sini.

Saat mereka pamit pergi, ada satu mobil yang berhenti di pinggir jalan. Ada lima orang tua keluar dari mobil itu dan berfoto-foto. Mereka memintaku untuk memotret mereka. Aku dengan senang hati memenuhi. Mereka ternyata dari Jawa Tengah. Mereka berlima adalah sahabat kuliah yang sudah lama tak temu dan sedang reuni di alam terbuka ini. Mereka bercerita bahwa mereka juga sedang menunggu salah satu anggota PAPSI yang akan menjadi pemandu wisata mereka di Ujung Genteng. Awalnya mereka mengira aku salah satu mahasiswa KKN. Sampai aku cerita aku sendiri ke sini mereka tidak percaya.

“Kok sendirian? Lebih seru sama teman-teman, loh.”
“Jadwalnya gak cocok terus, Om.” Jawabku mengada-ada.
“Nanti kalau ada apa-apa gimana coba? Susahnya sendirian dong.”
“Gak apa-apa, Tante. Saya sudah biasa.” Jawabku sambil tersenyum.
“Wong kok sendirian itu dibiasakan. Mana pakai motor pula. Anak zaman sekarang tuh yah.” 
“Gak apa-apalah. Dulu juga aku konvoi ke Surbaya pakai motor loh.”
“Oh yang, motormu mogok itu, ya?”

Mereka bergantian mengomentariku dan akhirnya bernostalgia sambil tertawa. Aku tersenyum dan agak senang. Mereka mungkin teringat anak mereka yang tak akan pernah mereka izinkan untuk melancong sendirian. Ini adalah sebuah bentuk kekhawatiran. Sama seperti aku yang mengingat orang tuaku ke mana pun aku pergi. Perasaan sedih kadang muncul saat mengingat kekhawatiran yang mereka rasakan walau mereka sepertinya tampak tak acuh. Namanya juga orang tua. Aku pun menangkap bahwa bagi sebagian orang kesendirian bisa menjadi satu kondisi yang begitu mengintimidasi. 

Hampir pukul tiga sore, dua orang anggota PAPSI muncul di hadapan kami. Rombongan dari Jawa Tengah pamit dan beranjak menuju Ujung Genteng. Aku mengobrol dengan Kang Wildan yang merupakan anak dari Ketua PAPSI sebelumnya. Karena sudah sore dan Kang Wildan harus memandu tamu lainnya, kami mengatur janji untuk bertemu esok pagi untuk mengobrol lebih jauh lagi. Kang Wildan menawarkan penginapan di rumahnya tapi aku tolak halus dengan alasan sudah membawa tenda. Kami bertukar nomor ponsel.

Awalnya aku ingin bermalam di Curug Sodong tapi ada satu curug dekat Bukit Panenjoan yang menarik perhatianku, namanya Curug Awang. Lagi-lagi kuriositas dan impulsivitas (baca: ego dan nafsu) mendorongku untuk mampir ke curug ini.

Suara Usil Curug Awang
Jalan masuk ke Curug Awang cukup untuk dua mobil tapi jalanannya berbatu keras, besar, dan jelek. Motorku tak bisa melaju kencang dan beberapa kali pantatku tersentak kesakitan. Tak jauh dari jalan besar, ada sebuah pos yang tak terawat di kiri jalan. Semakin dalam, vegetasi semakin lebat. Aku mulai merinding. Walau jalanan sangat sepi, aku tak bisa memacu motorku kencang jika terjadi apa-apa. Aku simpan pikiran itu jauh-jauh di pojok kepalaku. Perlu tiga puluh menit lamanya dari jalan besar sampai tiba di halaman parkir Curug Awang.


Penyambutan dari Curug Awang


Usaha pemerintah memoles Curug Awang patut diapresiasi walau aplikasinya agak kurang tepat sasaran. Lahan parkir tersedia luas dengan fasilitas toilet dan musala baru yang tidak terawat. Ada seorang ibu tua sedang berjemur pakaian. Aku menemuinya dan mengobrol dengannya.

Ibu ini sangat ramah. Ia mempersilakanku untuk masuk ke rumahnya. Kata Ibu ini,  bapak – suami ibu ini – merupakan penjaga Curug Awang saat ini sedang tidak ada di tempat. Aku bertanya beberapa hal seperti jumlah wisatawan, hal yang menarik dari Curug Awang, dan biaya masuk. Ibu ini menjelaskan bahwa sama seperti tempat wisata lainnya, Curug Awang selalu sepi saat hari biasa. Biasanya ramai saat liburan. Sambil mendengarkan Ibu ini menjelaskan, aku mengintip Curug Awang yang airnya sedang surut. 

“Wah curugnya, cantik ya Bu. Sayang lagi surut.”

Tak disangka Ibu ini menjawab, 

“Menurut saya mah biasa aja. Saya juga heran kenapa orang-orang datang untuk lihat curug ini.”

Ia menjawab sambil tersenyum. Seketika kalimat aku sebelumnya terasa sangat poskolonial sekali. Aku merasa malu dengan diriku sendiri. Betapa romantisasi alam dan beautification pedesaan sering menjadi komodifikasi orang-orang perkotaan untuk jadi jalan keluar kepenatan sesaat hanya untuk bisa kembali bugar menjadi budak kapitalisme dan menyokong hegemoni perkotaan yang secara tidak sadar mengkristalisasikan stereotip dan gap karakter desa – kota.

Aku terdiam dan sibuk dengan pikiranku sendiri.

Buru-buru aku memecah pikiran ribut di kepalaku sendiri dengan bertanya biaya masuknya. Ibu ini menjawab terserah saja, seikhlasnya. Aku bilang ingin kemping dekat air terjun. Ibu ini tersenyum, kalau mau bermalam bisa di rumahnya. Kalau di bawah juga tidak apa-apa tapi biasanya orang kemping di bawah saat sedang ramai atau tidak sendiri. 

“Gak apa-apa bu. Nanti kalau ada apa-apa, saya mungkin ke rumah Ibu. Nuhun ya Bu.” 

Aku pamit berjalan menuju curug sementara Ibu ini lanjut menjemur pakaian.

Jalan menuju Curug Awang harus melewati pesawahan warga. Saat melewati pematang sawah, aku bertemu beberapa petani dan bertukar salam. Hanya sepuluh menit berjalan dari halaman parkir, aku tiba di kaki Curug Awang. Aku menyimpan tasku dan berputar melihat-lihat. 

Jika pemandangan di alam Ciletuh ini sebelumnya sangat cantik, Curug Awang ini sangat perkasa. Ganteng. Karena sedang surut, lapisan sedimen curug ini menonjol jelas. Jenis batu pasir tufan dan breksi berwarna kuning mencirikan bagian Formasi Jampang yang berumur 23 – 16 juta tahun. Curug ini juga terbentuk akibat proses tektonik yang membentuk mega amfiteater Ciletuh. Aku seperti berada di film Jurrasic Park.

Si Ganteng Curug Awang

Menjelang magrib aku mendirikan tenda di tempat yang terlihat banyak bekas tenda dan kayu bakar yang tertutupi dedaunan bambu. Lahan tenda di sini sempit, hanya muat hingga empat tenda kecil. Aku tak punya pilihan lain. Setelah mendirikan tenda, seperti biasa, yang aku lakukan hanya tidur, baca buku, melihat bintang (yang hanya sedikit terlihat), mendengar suara alam, masak mi, dan mengulang lagi sampai bosan. Pukul sepuluh malam, aku memanaskan air untuk membuat kopi. Sambil menunggu, aku membaca buku. 

Tiba-tiba entah dari mana, yang jelas sangat dekat, terdengar suara tertawa. Bulu kudukku langsung berdiri tanpa dikomando. Otakku dan telingaku menjadi tajam mencerna suara tawa yang asing ini. Suara tawa yang panjang hihihi jelas terdengar di kupingku. Anehnya, tubuhku tak bisa langsung bereaksi. Seolah mereka penasaran ingin tahu kejadian selanjutnya dan menunggu dengan sabar hingga tawa itu selesai. Otakku kemudian mencerna tawa itu. Suaranya cempreng, seperti suara anak kecil. Aku sebenarnya ingin juga tertawa karena kok ya suaranya cempreng.

Suara itu semakin keras dan tak jelas apakah perempuan atau lelaki. Aku tak mau tahu, aku paksa tubuhku bergerak dan langsung mematikan komporku sehingga aku bisa masuk ke dalam tenda dan bersembunyi di dalam kantung tidurku. Suara itu masih terdengar namun samar. Aku mulai membayangkan suara itu ada di dalam tendaku. 


Jangan dong. 


Aku mulai menutup mata dan meredam rasa takutku dengan mengalihkan pikiranku dengan merenungi filsafat Aristoteles, Nietzsche, dan alegori Plato tentang kompleksitas hidup. Aku mencoba menyusuri momen menyenangkan dan mengharukan dalam hidup: tentang orang tuaku, keluargaku, teman-teman, dan diriku sendiri. Kemudian aku baca doa yang aku bisa sampai aku tidur. 

Aku terbangun dengan keringat basah di sekujur tubuhku. Kuraih ponsel dan kulihat sudah pukul lima subuh. Aku bernapas lega. Hari sudah mulai terang. Aku anggap yang terjadi padaku semalam hanyalah manifestasi ketakutanku (terhadap anak kecil bersuara cempreng bergender netral?) atau ilusi alam bawah sadarku yang belum tentu empiris. Entahlah. Kalau di film horor, orang sepertiku ini pasti sudah mati duluan.

Aku keluar tenda dan melanjutkan kopi yang tertunda semalam. Pagi hari ternyata membuat Curug Awang lebih gagah lagi. Aku bisa melihat cahaya berkilauan tanda matahari terbit. Tanpa menunggu lama aku bergegas mengemas barangku dan menuju rumah Ibu ini. Aku pamit dan Ibu ini hanya tersenyum melihatku yang buru-buru pergi. Aku tak mau mengartikannya sebagai apapun. Sebelum menstarter motorku, aku hubungi Kang Wildan untuk menginap di tempatnya. 

Aku butuh kasur empuk. Dan baru kali ini aku rindu tidur dikelilingi orang-orang.


Bersambung ke Bagian 3.

Comments