Pertemanan dalam Etika Nicomachea


Pertemanan adalah Perjalanan


Seiring bertambahnya usia, lingkar pertemanan semakin menyempit. Mungkin tidak semua merasakan hal ini, tapi buatku itulah yang terjadi. Semakin tua, ada keengganan untuk membuka diri dan memulai pertemanan baru. Pertemanan mungkin terjadi, tapi belum tentu sedalam mereka yang menjalin pertemanan sejak lama. Entah ini yang juga dirasakan orang-orang, atau hanya sentimentalitasku saja.

Perlu aku akui bahwa yang menyenangkan dari pertemanan adalah mengetahui bahwa semua yang terlibat memiliki pemahaman mutual tentang mengusahakan pertemanan itu sendiri. Aku pernah berprinsip pertemanan itu taken for granted yang adalah pertemanan tak lebih dari sekadar asesori sosial belaka. Maksudnya, ya jika ingin berteman silakan, tak pun tak mengapa. Lagi-lagi, butuh waktu lama buatku untuk menyadari kekeliruan ini. Pertemanan itu sama halnya dengan hubungan lain yang tumbuh apabila rutin disiram dan dipelihara. Tentunya bukan dengan aku berpretensi menjadi orang lain demi penerimaan mereka yang anggap aku dekat, mapun sebaliknya. Tetapi berusaha memberikan yang terbaik dengan tetap menjadi apa adanya aku. Termasuk juga menerima apa adanya mereka.

Dengan berpikir terbuka seperti ini ada kedekatan yang terjalin seiring dengan waktu yang dihabiskan bersama. Perjuangan kuliah, liburan bersama, atau sekadar menghabiskan waktu sekejap saja di kedai kopi tengah kota, telah menguncup menjadi satu pengingat bahwa pertemanan tidak selalu memaksa kita untuk selalu ada, tetapi untuk menerima dan memahami perjalanan masing-masing.

Jikalau ada satu waktu yang menentukan dalamnya pertemanan adalah waktu yang dihabiskan bersama. Tidak selalu dalam keberadaan fisik, melainkan dalam rasa. Hal bisa sangat terbantukan lewat teknologi komunikasi seperti ponsel, surat, dan media sosial. Mode komunikasi yang dibangun sejatinya menjadi jembatan utama untuk bisa saling memahami satu sama lain. Tentunya tidak semua orang memiliki tipe dan mode komunikasi yang sama. Ada yang saat sedang marah malah diam, ada yang malah vokal mengutarakannya. Memahami ini tidak bisa dilakukan sekejap mata. Mengerti diri sendiri saja sudah membutuhkan waktu lama, apalagi mengerti orang lain.


Karena waktu adalah salah satu determinan utama, tanpa sadar aku dan teman-temanku memiliki sebuah konsensus tak tertulis untuk pergi berlibur bersama setiap tahun. Aku tidak tahu apakah mereka juga beranggapan sepertiku bahwa menghabiskan waktu bersama adalah upaya untuk merawat kebersamaan pertemanan. Destinasi bisa jadi nomor dua, kebersamaan adalah yang utama. 

Masih bisa ku ingat momen-momen bersama teman-temanku. Mulai dari kali pertama melancong bersama teman kuliah ke Yogyakarta dan Semarang, mendaki gunung bersama teman-teman SMA, atau sekadar bercengkrama menikmati akhir pekan di warung makan. Momen seperti ini yang membuatku merasakan pentingnya hubungan antarmanusia. Memang tidak bisa disangka bahwa pertemanan tak selalu rekat, tapi juga merenggang. Awalnya sulit bagiku untuk menerima hal ini karena tuntutan idealisme imajinerku tentang pertemanan yang diharuskan selalu ada secara fisikal dan emosional untuk satu-sama lain. Romantisasi sitkom pertemanan semacam Friends, HIMYM, Big Bang Theory, atau Dawson’s Creek tertanam sebagai nilai yang pernah aku anut untuk membingkai pertemanan. Seiring pendewasaan diri, nilai tersebut tentunya berubah karena budaya populer tidak selalu menangkap realita secara akurat, termasuk pertemanan. Ia hanyalah fiksi, kesamaan dalam karya fiksi bisa saja sebuah simulakra.

Dalam budaya Barat seperti Belanda, Perancis, dan Australia, pertemanan modern identik dengan larutnya kebebasan ekspresi individu dalam ruang komunal. Artinya, kebebasan dalam menentukan hidup sendiri masih bisa dibingkai melalui pertemanan yang mereka inginkan dengan menyumbangkan porsi kehidupan privatnya. Hal ini seiring dengan sistem demokrasi yang lebih ajeg di negara maju dibandingkan beberapa negara berkembang yang masih mengadopsi pertemanan tradisional. Seperti dalam budaya beberapa daerah di Indonesia yang menggarisbawahi nilai pertemanan sebagai bagian dari masyarakat majemuk dengan sistem sosial yang dinamis dan tradisional. Itulah mengapa stereotip pertemanan di sekelilingku hanya bertahan sampai teman-teman memulai pernikahannya masing-masing. Walaupun pada kenyataannya, ada beberapa teman-temanku yang masih merawat pertemanan dengan baik saat mereka sudah berkeluarga. 

Tidak hanya tentang tradisi pertemanan di negara berkembang, pertemanan di kota dan desa jelas memiliki dinamika sosial yang berbeda sesuai dengan demografi lokalnya masing-masing. Ragam etnis, bahasa daerah, dan agama memengaruhi pola pertemanan ini. Namun begitu Emile Durkheim pernah menyebutkan bahwa tidak semua masyarakat majemuk bisa dikarakterisasi ke dalam dua tipologi modern dan tradisional saja. Artinya, ada transformasi pertemanan yang justru tidak dibatasi oleh kesamaan geografis ataupun identitas. Sering melintas di pikiranku bahwa heterogenitas masyarakat Indonesia yang sangat tinggi – aneka suku, bahasa, adat, kepercayaan – justru memiliki potensi resiliensi yang kuat. Seperti hutan yang terdiri dari bermacam vegetasi yang lebih kuat terhadap serangan hama. Namun begitu, sering ku dapati kondisi sebaliknya. Mengapa kita masih seringkali terjebak dalam standar kesuksesan dan kesalehan sosial yang serupa dan homogen? Mengapa berbeda-beda tetapi satu jua hanya menjadi hapalan saat sekolah belaka? Nyatanya, perbedaan ini malah sering menimbulkan konflik, bukan kekayaan dalam pertemanan.


Pertemanan menurut Aristoteles

Teman menempati porsi yang cukup besar dalam hidupku. Mungkin ini terdengar berlebihan, namun sungguh ini yang aku rasa. Bukan karena aku punya banyak teman, melainkan karena aku pernah tidak punya teman sehingga membuat pertemanan ini memiliki arti penting dalam hidupku.

Menjelang puber, kala itu masih SMP, ada waktu aku tidak punya teman dan merasa sendiri. Ada beberapa orang yang bisa bersaksi atas kejadian ini. Saat merasa terasingkan, aku berkenalan dengan karya Aristoteles, Ethica Nicomachea yang menyelip di deretan buku milik kakakku. Aristoteles banyak sekali membahas tentang pertemanan secara detail dengan kerangka kebajikan dan kebaikan. Inilah salah satu prinsip berteman yang aku pegang sedari dulu. 

Berikut interpretasiku. 

Sebelum berbicara pertemanan, mari kita ketahui terlebih dahulu bahwa Aristoteles memaparkan Etika sebagai suatu disiplin yang relatif terlepas dari area filsafat lainnya. Etika yang dipaparkan Aristoteles ini sebagian besar termaktub dalam tiga korpus: Magna Moralia, Ethica Eudemia, dan Ethica Nicomachea (EN). Dalam EN yang diterjemahkan sebagai Etika Nicomachea ini banyak sekali tindakan manusia yang dibahas Aristoteles melalui  10 buku yang setiap buku membahas topik masing-masing. Kesepuluh buku tersebut membahas kebahagiaan, kebajikan karakter, prekondisi kebajikan, kebaikan karakter individu, kedermawanan, keadilan, kebijakan pikiran, pengendalian diri, pertemanan, dan kesenangan.

Pertemanan ini yang paling memantik keingintahuanku karena sangat praktis dan berhubungan dengan ragam karakter manusia saat berinteraksi satu sama lain. Pertemanan dalam EN ditempatkan dalam buku VIII. Menurut Aristoteles teman adalah elemen sangat penting dalam kehidupan. Tidak ada satu orang pun yang akan memilih untuk hidup tanpa teman, terlepas dari posisi dan status seseorang. Aku sungguh terbuai dalam kata-kata Aristoteles, 

"But in poverty also, and in the other misfortunes, people think friends are the only refugee. Moreover, the young need friends to keep them from error. The old need friends to care for them and support the actions that fail because of weakness."

Pertemanan dalam EN tidak didefinisikan hanya sebagai teman sebaya, tetapi juga hubungan orang tua dan anak, dan sebaliknya. Tidak hanya antarmanusia, melainkan juga antara manusia dengan binatang. Manusia memiliki hubungan alamiah tentang pertemanan dengan spesies lainnya. Setelah membaca ini, aku menyadari bahwa sebagian orang senang sekali berteman dengan tumbuhan, sebagian lainnya dengan binatang seperti anjing dan kucing. Aku merasa nyaman berteman dengan kucing liar. Mengobrol dengan mereka dan bermain dengan mereka membuatku tenang. Mungkin karena kami memiliki vibrasi yang sama.

Pertemanan ini juga dibutuhkan dalam struktur perkotaan dan politik. Pertemanan yang tulus bukan sekadar menjadi aliansi terkuat, tetapi juga menumbuhkan keadilan di dalamnya. Dengan fondasi ini pertemanan berusaha menyelesaikan konflik sipil yang berujung permusuhan. Dalam konteks ini saat orang-orang berteman secara tulus, mereka tidak akan membutuhkan keadilan. Namun jika mereka adil, mereka membutuhkan teman. Aku teringat Naruto dan Sasuke yang merupakan personifikasi dari pertemanan yang tulus, yaitu saat Naruto berusaha memahami penderitaan Sasuke yang ingin memutus pertemanan dengannya. Melalui satu konflik besar dan berkepanjangan, mereka akhirnya bisa merasakan penderitaan satu sama lain dan kembali berteman, bahkan semakin erat. 

Aristoteles juga membahas mengenai konflik pertemanan. Pertemanan biasanya berdasarkan persamaan, karena itu burung berbulu sejenis berkumpul bersama. Di sisi lain teman yang justru terdiri dari orang-orang yang hanya mengandalkan kesamaan cenderung bertengkar satu sama lain. Euripides pernah berkata bahwa saat bumi kering, ia sangat merindukan hujan dan saat surga penuh dengan hujan, ia sangat merindukan untuk menjatuhkannya ke bumi. Bisa aku artikan bahwa pertemanan adalah saling melengkapi, bagai kepingan puzzle yang berbeda bentuk namun saling mencocokan.

Salah satu kondisi pertemanan yang esensial adalah menyadari bahwa tiap orang di dalamnya saling memiliki niat baik terhadap satu sama lain. Pertemanan bukan hanya sebagai kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri, melainkan resiprokal. Hal inilah yang harus disamakan dalam satu lingkar  pertemanan.

Jenis Pertemanan

Sebetulnya Aristoteles mendeskripsikan banyak tipe pertemanan, namun secara garis besar ia membagi pertemanan ke dalam tiga jenis:

1. Pertemanan berdasarkan fungsi (friendship of utility). 

Seseorang berteman dengan apa yang berguna baginya. Seseorang berteman dengan yang pintar bukan karena karakter kepintaran orang itu, melainkan karena kepintarannya berguna untuk dia. Dalam masyarakat kita pertemanan macam ini dianggap kurang etis karena hanya mengandalkan fungsi seseorang dalam berinteraksi. Namun begitulah adanya. Sebagian orang merasa nyaman dengan tipe pertemanan ini karena mereka memiliki tujuan jelas dalam mencari teman.

2. Pertemanan berdasarkan kesenangan (friendship of pleasure). 

Sama dengan berteman berdasarkan fungsi, seseorang bisa berteman karena ia menganggap seseorang itu menyenangkan baginya. Hal ini sama saja dengan cinta. A bukan mencintai B karena dia adalah B, melainkan karena B memberikan kesenangan atau kenikmatan. Pertemanan ini sering menguap saat teman yang ia miliki tidak lagi memberikan kesenangan pada dirinya. Sama halnya dengan cinta yang bisa berhenti begitu saja saat seseorang sudah tidak lagi dianggap tidak menyenangkan atau tidak berguna. Aristoteles secara spesifik menyebutkan pertemanan di kalangan muda-mudi sering berganti karena fondasi dasarnya adalah keuntungan pribadi semata, 

"Young people are prone to erotic passion, since this mostly accords with feelings, and is caused by pleasure; that is why they love and quickly stop, often changing in a single day."

 

3. Pertemanan berdasarkan kebaikan (friendship of goods)

Bagi Aristoteles, pertemanan ini adalah yang terbaik. Menurutnya pertemanan akan lengkap saat orang-orang memiliki fondasi kebaikan yang sama. Mereka saling mengharapkan yang terbaik bagi teman-teman mereka dengan berpatokan pada apa yang menurut masing-masing individu itu baik. Jadi tidak ada pemaksaan apa yang menurutku terbaik bagimu adalah yang terbaik bagimu. Penekanannya adalah apa yang terbaik bagimu adalah yang terbaik bagiku. Jenis pertemanan ini mengumpulkan orang-orang yang menghargai kepribadian masing-masing, bukan karena ketidaksengajaan tapi karena pilihan. Oleh karena itu pertemanan jenis ini akan bertahan lama selama mereka memegang prinsip kebaikan untuk diri mereka sendiri dan nilai kebaikannya ini tetap bertahan.

Menariknya, pertemanan ini seperti tanpa usaha, tapi justru memiliki usaha yang besar untuk merawat pertemanan jenis ini. Masing-masing teman adalah baik tanpa kualifikasi dan syarat apapun dan cocok dengan teman yang lain walaupun mereka tidak saling menguntungkan satu sama lain. Mereka juga saling menyenangkan satu sama lain tanpa harus berusaha menyenangkan satu sama lain. Hal ini didasari karena orang-orang dalam pertemanan ini menyadari bahwa setiap teman memiliki perilaku yang sama-sama menyenangkan. Menurut Aristoteles, 

"The actions of good people are the same or similar."

 

Jelas pertemanan ini bertahan lama karena mereka yang menyadari hal ini beranggapan pertemanan itu adalah holistik. Artinya, entah karena kebaikan, kesenangan, persamaan, atau kegunaan, teman tetaplah teman. Anggapan ini resiprokal dalam satu lingkar pertemanan sehingga pertemanan jenis ini bisa bertahan dalam permasalahan.

Meski demikian, pertemanan ini jarang ditemukan karena tiap orang memiliki persepsi kebaikan yang berbeda. Selain itu, butuh waktu yang sangat lama untuk tumbuh dan terbiasa dengan satu sama lain. Jelas ini seperti Naruto dan Sasuke, atau Sartre dan Beauvoir (yang agak rumit karena dibumbui cinta).

Ketiga jenis pertemanan ini akan dialami oleh kita semua. Karena ada tahapan kita  mencari kegunaan atau kesenangan semata. Namun begitu seiring waktu pertemanan akan menjadi matang seiring dengan kedewasaan seseorang. Pada akhirnya orang-orang baik akan berteman karena dirinya sendiri, bukan karena sifat baik yang ada pada orang lain. Inilah pertemanan tanpa kualifikasi. 


Pertemanan Tidak Setara

Berbeda dengan pertemanan yang melibatkan kesetaraan karena orang-orang dalam lingkar pertemanan ini menginginkan hal yang terbaik bagi masing-masing, ada juga pertemanan tidak setara. Bahkan pertemanan berdasarkan kegunaan dan kesenangan pun ada pada keinginan mencapai relasi yang juga setara. Namun begitu ada jenis pertemanan lain yang berbeda, yaitu yang tidak setara karena berfondasikan superioritas. Seperti ayah terhadap anaknya, orang tua terhadap orang muda, laki-laki terhadap perempuan, yang kaya terhadap yang miskin, atasan terhadap bawahan. Pertemanan ini tidak setara karena tidak berjalan kongruen kedua arah. Pertemanan ayah terhadap anak berbeda dengan anak terhadap ayah. Pertemanan bos terhadap bawahan berbeda dengan bawahan terhadap atasan. Superioritas ini aku asosiasikan dengan hirarki kekuasaan. 

Dengan adanya legitimasi superioritas ini maka tiap orang dalam lingkar pertemanan ini mendapatkan hal yang berbeda. Dalam konteks kebaikan, pihak superior menginginkan yang terbaik untuk yang kurang superior menurut versinya. Sementara dalam konteks eksploitasi, yang superior memiliki kekuasaan untuk lebih bertindak sesuai keinginannya terhadap yang kurang superior.


Konflik dalam Pertemanan

Aristoteles membahas dengan detil tipe pertemanan baik itu dalam konteks komunitas, keluarga, bahkan sistem politik. Ia juga memaparkan bagaimana penyelesaian konflik antara teman yang setara dan tidak setara. Dalam menyelesaikan konflik, pertemanan setara harus menyadari adanya penyetaraan cinta kasih dan kebaikan, dan hal lainnya. Sementara pertemanan berdasarkan superioritas mengharuskan yang kurang superior untuk mengejar kekuasaan superioritas teman lainnya. 

Dalam pertemanan berdasarkan kegunaan, tuduhan dan celaan sering muncul karena perlu adanya kegunaan bagi mereka dalam lingkar pertemanan ini. Begitu pula dengan pertemanan berdasarkan kesenangan. Kok kamu nyebelin banget sih? Kok aku terus yang berkorban untuk kamu? Mungkin jika dibahasakan ke dalam kondisi kekinian, konversasi seperti itu akan terjadi.

Penyelesaian konflik akan terjadi sesuai dengan tipe pertemanan dan mode komunikasi yang dipahami dalam lingkar pertemanan tersebut. Karena itu banyak pertemanan renggang karena konflik dan komunikasi yang tidak setara. Seperti yang di awal disebutkan, komunikasi yang efektif bukanlah memaksa orang yang tidak suka berbicara untuk berbicara, tanpa membiarkan orang tersebut memproses emosi yang berkaitan dengan konfliknya.

-- 

Sementara sekian interpretasi tentang pertemanan dalam kacamata Etika Nicomachea. Sebetulnya ada yang lebih seru lagi yang dibahas oleh Aristoteles dalam konteks pertemanan: erotic friendships, political friendship, dan self-love friendship. Tapi kita simpan saja itu untuk selanjutnya.

Dalam konteks pertemanan, aku selalu menganggap diriku sulit untuk memulai pertemanan: seringkali kikuk secara sosial dan tak tahu harus berbuat apa saat di hadapan orang baru. Namun seiring waktu aku belajar menghargai sekelilingku dan terbuka sedikit demi sedikit. Sesungguhnya perkataan teman adalah keluarga yang bisa kita pilih sendiri itu memang betul adanya.

Menutup tulisan kali ini dengan perkataan Aristoteles,

"Pertemanan sejati bukanlah mereka yang memperlakukan orang baru dengan ramah hanya untuk dianggap sebagai teman. Seringkali keinginan untuk berteman datang begitu cepat, tetapi pertemanan sesungguhnya tidak seinstan keinginan tersebut."

 

 

Tabik.

 

 

 

 

 

 

 

 


Comments