Menuju Taman Bumi Tersembunyi (Bagian 1)



Melancong dengan Sepeda Motor

Hari masih gelap saat motorku ikut berderu bersama orang-orang yang lalu lalang di pasar Pasirhayam Cianjur. Suasana pasar di kala dini hari menjelang subuh sering membuatku tersenyum. Ada perasaan familiar di tengah tawar menawar dengan orang-orang yang tak dikenal. Ada perasaan hangat di antara gigil pagi yang menusuk. Ada kantuk yang tertahan di pelupuk mata dan menguap bersama malam. Aku tengok jam tangan yang jarum pendeknya menunjuk angka lima. Perjalanan Bandung – Cianjur ini digerung hanya dalam waktu satu jam. Terima kasih atas jalanan lengang dan motor yang baru saja diservis.



Sepuluh menit kemudian motorku berhenti di pelataran masjid di Jalan Raya Cibeber. Pelataran yang beralaskan bebatuan kerikil ini sudah terisi beberapa mobil yang berjejer rapi. Aku lepas helm yang mengurung kepalaku selama sejam ke belakang dan melihat jemaah yang baru saja selesai menunaikan salat subuh. Sebagian besar berjalan bubar keluar masjid sambil tersenyum padaku saat melihat tas yang menggelayut berat di pundakku tingginya melebihi kepalaku sendiri. Sisanya ada yang terus berzikir di masjid. Aku memarkir tasku dekat tempat wudu. Saat sedang melipat celana panjangku, seorang lelaki mendekatiku dan dengan ramahnya mempersilakanku untuk menitipkan tasku di tempat penitipan tas agar aku bisa leluasa beribadah.

Selesai salat, aku istirahat lima belas menit di halaman masjid. Lelaki yang menjaga tasku tadi menawariku dan beberapa orang yang sedang ngobrol gorengan hangat beserta teh tawar panas. Sejak pukul empat subuh aku keluar dari rumah, perutku belum terisi apapun selain segelas air bening. Tentu saja tawaran ini tak aku sia-siakan. Aku ambil tiga buah goreng pisang dan memulai pembicaraan tentang kondisi jalanan sebelum masjid yang sedang diperbaiki. Kami terus berbincang hingga lelaki itu berkata bahwa saat seumurku ia juga sering melancong sendirian. Aku tak tahu darimana ia bisa tahu umurku tapi aku mengangguk saja setuju. Menjelang pukul enam pagi, aku seruput teh tawar hangat yang kupegang sampai dasar gelas, lalu pamit pergi meneruskan perjalanan.

Masjid Cibeber

Lewat pukul enam pagi motorku kembali menciumi aspal jalanan yang mulai dipadati kendaraan. Aku kerap melewati angkot yang berdiam di pinggir jalan dengan sopir yang memanggil penumpang dengan semangat. Satu persatu penumpang memenuhi angkot-angkot yang menunggu jodohnya. Terkadang motorku terhenti dan berjejer bersama dengan motor-motor lain menunggu bus-bus besar menepi dari tengah jalan. Kadang mataku melirik pada mobil kol yang dipenuhi sayur mayur segar di belakangnya bersama dengan muka orang-orang yang tidur kelelahan. Beberapa kali motorku juga ikut mengantre menantikan rombongan anak sekolah selesai menyebrang jalan. Sekumpulan pegawai yang tumpah ruah ke jalan saat memadati gerbang pabrik beberapa kali menahan laju motorku. Tak ketinggalan beragam gerobak makanan ikut memeriahkan pagi ini. Di balik kacamata yang ku kenakan, selaput hangat melapisi kedua mataku. Saat jalanan lebih lengang, ku pacu motorku sampai batas maksimal hingga selaput itu pecah dan menetes dibawa angin jalanan.

Pukul delapan motorku sudah memasuki kota Sukabumi. Aku berhenti di pom bensin untuk mengisi perut motorku yang sudah hampir kosong sambil menanyakan jalan. Awalnya aku juga ingin beristirahat sebentar untuk mengisi perutku untuk sarapan kupat tahu. Namun mendengar penjelasan penjaga pom bensin bahwa tujuanku masih satu hingga dua jam lagi lamanya, aku mengelus perutku untuk sedikit bersabar. Aku mengelus lagi perutku saat dihadang kemacetan buka tutup akibat betonisasi jalan di Jalan Pembangunan. Aku pasang pelantang telinga untuk sedikit menyemangati pagi ini. Untungnya, motorku berada di barisan paling depan sehingga tak menunggu sampai 30 menit untuk bisa melaju kembali.

Baca juga Pengalaman Mendaki Gunung Ciremai

Setelah melewati Jalan Pembangunan, Jalan Pelabuhan II, motorku berlari di jalan Raya Pelabuhan Ratu. Jalanan sangat lengang dan mulus, berbeda dengan saat melewati Jalan Pembangunan. Udara dingin kini perlahan berganti hangat. Pepohonan yang sangat rindang berjejer di kiri – kanan jalan mengembuskan kesejukan. Sinar matahari menyelinap masuk lewat celah-celah dedaunan. Ada barisan pepohonan yang daunnya gugur berwarna jingga dan kesumba cocok untuk dijadikan spot foto. Sungguh cantik. Tadinya aku ingin berhenti untuk mengambil foto tapi berhubung berada di sisi jalan yang bersebrangan, aku harus terus melaju. Aku mengikuti liuk-liuk Jalan Raya Pelabuhan Ratu yang kadang bersilangan dengan Jalan Nasional III. Jalan ini merupakan jalur yang berada di Jawa Barat bagian tengah yang sering dilalui pengendara karena jalan utama penghubung antarkota. Ada beberapa jalur alternatif menuju Sukabumi dari arah Bandung termasuk lewat jalur agak mepet ke Utara dan mepet Selatan. 

Opsi Jalur Bandung - Sukabumi 

Aku sempat berpikir untuk menyusuri selatan Jawa Barat melalui Jalan Raya Sindang Barang agar bisa menyaksikan hutan lebat dan pemandangan alam yang lebih syahdu. Namun mengingat keamanan di jalur selatan saat dini hari yang rawan kriminalitas, terlebih lagi aku berkendara sendirian, aku mengubah pikiranku. Tebersit juga untuk mengendarai mobil namun menempuh jarak jauh sendirian di balik kemudi pasti akan memakan waktu lebih lama saat tersendat kemacetan. Belum lagi boros biaya dan bensin. Melihat kondisi jalanan ini, aku lebih senang menunggang motor sebagai opsi terbaik.

Tiga puluh menit menyusuri jalanan meliuk naik – turun, aku kemudian tiba di pertigaan Ciletuh – Bagbagan. Pertigaan ini dikenal dengan Jembatan Bagbagan. Motorku kembali masuk ke pom bensin di sisi kiri jalan sebelum Jembatan Bagbagan. Kali ini untuk melepas pegal tubuhku sendiri. Pantatku sudah tak bisa lagi menahan panas akibat menempel dengan jok motor dan menahan Deuter 60L selama hampir empat jam. Pergelangan tanganku pegal menggenggam setang motor. Aku sempat mampir ke toilet dan di kaca ada wajah hitam karena asap dan mata merah dengan titik hitam di sudut matanya. Aku buru-buru mencuci muka dan mencari miniswalayan untuk membeli minuman penolak angin dan obat tetes mata.

Hanya 15 menit dari pom bensin Bagbagan, aku sudah memasuki Jalan Raya Simpenan. Papan penunjuk jalan kadang tidak terlalu jelas mengarahkan motorku ke tujuan. Sejauh ini, peta Google sangat membantu. Tak lama berada di Jalan Raya Simpenan, ada percabangan jalan, kiri dan kanan, yang keduanya sama saja menuntun masuk Ciletuh. Bedanya, jalan ke kiri adalah Jalan Pelabuhan Ratu yang menanjak dan memutar, sementara ke kanan agak menurun. Di sebelah kanan ada warung yang pemiliknya bisa ditanyai tentang jalan menuju taman bumi. Aku memilih jalan kanan karena merupakan jalur masuk yang diresmikan pemerintah pada awal 2018 sebagai infrastruktur jalanan provinsi di kawasan wisata taman bumi ini. Jalan ini dinamai Jalan Geopark Ciletuh – Pelabuhan Ratu atau lebih populer dengan sebutan Jalur Loji.
 
Jalur Loji

Jalur Loji menyambutku dengan kuburan warga di sebelah kiri. Aku bisa membayangkan suasana kuburan sini saat malam hari: gelap dan sepi mencekam. Baiklah, saat pulang nanti aku pastikan matahari masih hadir menerangi jalanan. Jalur ini mengingatkanku pada road trip yang pernah aku lakukan di Northern Territory, Australia. Jalannya mulus dan lurus. Tapi dugaan itu terhapuskan setelah beberapa saat aku bertemu turunan dan tanjakan yang curam serta tikungan yang tajam. Aku sangat menyarankan menggunakan mobil dengan tenaga yang kuat  jika lewat jalur ini.

Setelah itu jalanan membelah perbukitan dan menyuguhkan pesawahan yang menguning dengan bukit-bukit kecil. Jalur Loji ini menghubungkan beberapa pantai di Taman Bumi Ciletuh, termasuk Pantai Loji sendiri. Ada beberapa warung makan dan penginapan di sekitar area ini tapi aku perhatikan masih banyak yang tutup. Pantai pun terlihat sepi. Mungkin karena bukan musim liburan. Semakin lama, langit di sebelah kanan semakin terbuka, tak lagi penuh oleh pepohonan, pesawahan, atau permukiman warga, melainkan pantai selatan Laut Jawa yang berkilau-kilau. Meski sedikit panas, aku tetap terpukau dengan keindahan pantai ini.

Beberapa motor yang dikendarai warga melintasi di jalan ini. Sisanya hanya aku dan motorku. Aku berhenti sebentar di tebing jalan untuk menyenangkan mata sambil mengabadikan momen ini.

Pantai Loji

Inilah Taman Bumi Ciletuh – Pelabuhan Ratu. Dari pandangan mata saja taman bumi ini tak habis menuai decak kagumku. Aku ragu bisa mengunjungi spot alam dalam lima hari empat malam di taman bumi ini, mengingat ada banyak sekali titik pemandangan yang harus aku kunjungi. Aku sudah membuat daftar yang harus aku kunjungi seperti Puncak Darma, Bukit Panenjoan, Pelepasan Penyu, Curug Sodong, dan Pantai Ciletuh.



Bersambung ke Bagian 2.





Comments